TEMPO.CO, Jakarta - Kebijakan pengendalian tembakau melalui instumen cukai di Indonesia perlu belajar hal serupa di Filipina.
Koordinator Ekonomi Pengendalian Tembakau Departemen Pencegahan Penyakit Tidak Menular World Health Organization Jeremias N. Paul Jr. mengatakan pengingkatan harga rokok di Filipina melalui instrumen cukai terbukti merupakan formula win-win untuk penghasilan negara dan peningkatan kesehatan masyarakat.
Mantan Deputi Menteri Keuangan Filipina itu mencontohkan negaranya mendapat tambahan US$ 5,2 miliar (setara dengan Rp 70,2 triliun) dalam empat tahun setelah memberlakukan cukai rokok tinggi.
“Ini memungkinkan pemerintah Filipina meningkatkan anggaran kesehatan tiga kali lipat dari tahun 2012 dan mensubsidi jaminan kesehatan untuk orang miskin,” kata Jeremias dalam briefing media yang diselenggarakan oleh WHO dan Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Universitas Indonesia di Jakarta akhir pekan lalu.
Peningkatan pajak empat kali lipat menambah 200 persen penghasilan negara dalam waktu empat tahun sekaligus menurunkan jumlah perokok di sana 5 persen atau sekitar sejuta orang.
“Di Inggris, untuk mencapai penurunan jumlah perokok yang sama membutuhkan waktu sepuluh tahun,” ujarnya. Menurut dia, dukungan politik pada level tertinggi adalah kunci untuk menaikkan cukai rokok.
Kenaikan cukai rokok sebagai instrumen pengendalian tembakau kerap dikhawatirkan akan meningkatkan potensi peredaran rokok ilegal. Padahal, penelitian di berbagai negara menunjukkan faktor utama penyumbang peredaran rokok ilegal, antara lain, karena korupsi dan rendahnya komitmen pemerintah mengatasi rokok ilegal.
Di Asia Tenggara, Thailand dan Filipina mendongkrak anggaran kesehatannya melalui instrumen cukai. Di Thailand, cukai rokok dinaikkan hingga 85 persen pada 2009 sehingga meningkatkan pemasukan negara US$ 1.228 juta (sekitar Rp 16,5 triliun). Dari angggaran itu, sebagian dialokasikan untuk pembiayaan layanan kesehatan bagi masyarakat.
Masalahnya, di Indonesia kenaikan cukai progresif belum diambil sebagai kebijakan untuk meningkatkan pendapatan negara sekaligus menurunkan angka perokok. Menurut ahli ekonomi kesehatan UI Hasbullah Thabrany, peningkatan cukai rokok adalah sumber dana Jaminan Kesehatan Nasional yang belum dilirik oleh pemerintah Indonesia.
“Pemerintah memiliki berpeluang mendapat pemasukan hingga Rp 200 triliun per tahun dari cukai rokok. Masalahnya tidak ada political will,” ujarnya.
Apalagi tahun ini, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan tahun ini diperkiran defisit Rp 3,4 trilun. Setiap tahun JKN membutuhkan dana yang lebih besar daripada anggaran yang tersedia.
Sebagian besar dana itu digunakan untuk membiayai anggota JKN yang terkena penyakit jantung, stroke, kanker, dan penyakit tidak menular lainnya yang terkait dengan rokok.
“Jadi mengapa tidak meningkatkan harga rokok melalui instrumen cukai? Filipina telah membuktikan kenaikan cukai rokok adalah jalan termudah dan tercepat bagi pemerintah untuk mendapatkan dana,” ujar Hasbullah.
Kenaikan cukai rokok tahun ini rata-rata 10,54 persen. Adapun tarif cukai maksimal 57 persen dari harga eceran, menurut Undang-Undang Cukai.
Hasbullah mengatakan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan cukai rokok minimal 70 persen dari harga eceran.
“Jika harga rokok dinaikkan menjadi Rp 20 ribu per bungkus, potensi penerimaan cukai bisa mencapai Rp 210 triliun,” ujarnya.
AHMAD NURHASIM