TEMPO.CO, Mataram - Diundang Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) Muhammad Zainul Majdi menyebutkan bahwa Pancasila merupakan model ideal untuk menangkal perilaku radikalisme di tengah masyarakat. Menurutnya Pancasila merupakan konsensus nasional untuk menciptakan kestabilan, kenyamanan lahir bathin, persaudaraan dan kohesivitas ditengah kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Zainul Majdi, yang seorang tuan guru haji dan ketua umum Pengurus Besar Nadlatul Wathan yang berkantor pusat di Pancor Kabupaten Lombok Timur dan doktor tafsir Al Qur'an tamatan Univesitas Al Azhar Kairo, mngemukakannya saat berbicara dalam Dialog Nasional, di Cafe Suka Resto, Laboratorium Agama, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Sabtu 17 Juni 2017.
Baca juga:
Selama sebulan terakhir, ini adalah kehadirannya kedua kalinya di kota Yogyakarta setelah sebelumnya mengisi kegiatan di beberapa masjid. Juga, menjadi pembicara di Masjid Salman Institut Teknologi Bandung dan bahkan di Palembang.
Dialog yang mengusung tema: Radikalisme, Korupsi dan Pancasila tersebut juga menghadirkan Prof. Noorhaidi Hasan, MA, M.Phil., Ph.d sebagai narasumber. Di hadapan ratusan mahasiswa UIN, orang nomor satu di NTB itu mengajak semua pihak untuk mewujudkan model ideal yang merujuk pada konsensus masyarakat sebagai bangsa. “Di sinilah letak pancasila itu,” kata Zainul Majdi, 45 tahun, yang akrab disapa Tuang Guru Bajang (TGB) itu. Biro Humas dan Protokol Pemerintah Provinsi NTB merilisnya, Ahad 18 Juni 2017 pagi.
Baca pula:
NU: Radikalisme Menyebar ke Kampus, Terutama ...
TGB menambahkan kondisi ideal yang diharapkan tercipta dengan baik oleh masyarakat, adalah model yang memiliki pijakan dan tautan. Menurutnya, pijakan itu adalah pancasila. Maka pancasila itu, dalam seluruh tatarannya menghindarkan masyarakat dan anak-anak bangsa dari radikalisme atau ekstrimisme. Karena ujung dari perilaku itu adalah terorisme, ujarnya.
Untuk itu, TGB menekankan perlunya mencari sebab atau latar belakang terjadinya perilaku menyimpang sehingga memperoleh solusi terbaik bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Baca juga:
Menristekdikti: Kampus Berpotensi Disusupi Radikalisme, Sebab...
Menurutnya, terdapat beberapa sebab munculnya sikap radikalisme. Diantaranya adalah bacaan yang salah terhadap teks-teks agama. Zainul Majdi menyontohkan, gerakan ISIS yang saat ini marak, merupakan gerakan yang lahir dari bacaan yang memutarbalikkan teks-teks yang selama ini sudah benar. “Kalau kita sepakat bahwa penyebab radikalitas ini adalah bacaan, maka responnya juga harus dengan bacaan yang memadai. Serta argumentasi-argumentasi ilmiah untuk meletakkan kembali teks itu dalam konteks yang benar,” ujarnya.
Sebab kedua dari munculnya radikalitas menurut TGB adalah depresi sosial. Depresi muncul akibat tata nilai yang lebih banyak melarang ketimbang membolehkan, ujarnya. Di dalam depresi sosial, terangnya, terdapat keputusasaan yang melahirkan kemarahan. Dan akan terakumulasi menjadi perlawanan yang menyebabkan lahirnya ekstrimitas.
Silakan baca:
Akademisi: Radikalisme Incar Anak Muda yang Masih Labil
Ketiga, mungkin akibat tekanan ekonomi, dengan banyaknya orang terdidik yang tidak menemukan tempat untuk mengaktualisasikan ilmunya dalam dunia kerja,” kata TGB. Sebab faktor pekerjaan menurutnya berkaitan dengan kemampuan keuangan negara untuk menciptakan lapangan kerja.
Kemudian keempat, menurut Zainul Majdi, faktor yang tidak kalah pentingnya adalah akibat hilangnya pendidikan budaya yang baik. Sekolah, masjid, pranata adat, tatanan sosial yang baik harus melahirkan pendidikan budaya yang baik. Sekolah merupakan institusi untuk menciptakan pendidikan yang baik.
SUPRIYANTHO KHAFID