TEMPO.CO, Semarang – Rencana Menteri Pendidikan Muhadjir Effendy menerapkan program full-day school atau sekolah sehari penuh mendapat tanggapan dari Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) karena dinilai akan mengancam pendidikan karakter para santri yang sekolah di lembaga madrasah ibtidaiyah. Tercatat, secara nasional, terdapat 37.102 madrasah yang selama ini melakukan pendidikan pada sore hari.
“Full-day school bukan konsep proporsional yang bisa diterapkan secara nasional,” kata Ketua PMII Cabang Kota Semarang Muhammad Zuhri saat berunjuk rasa memprotes rencana kebijakan tersebut, Rabu, 14 Juni 2017.
Baca juga:
Wapres JK: Full-Day School Tak Bisa Diputuskan di Tingkat Menteri
Zuhri menilai, jika diterapkan, full-day school akan mengancam keberlangsungan proses pendidikan karakter di madrasah ibtidaiyah. “Karena alasan program sekolah sehari penuh selama ini sudah dikenal kalangan santri yang sekolah pagi dan sore,” katanya.
Pergerakan Mahasiswa Islam Kota Semarang meminta pemerintah mencabut kebijakan full-day school serta mengkaji ulang rencana itu dengan cara melibatkan masyarakat umum, tokoh agama, dan praktisi pendidikan.
Baca pula:
Mendikbud Yakin Full-Day School Tak Akan Membebani Murid
Apalagi, menurut dia, selama ini sekolah sehari penuh akan menggeser sistem pendidikan yang telah lama berlaku di masyarakat dengan adanya sekolah ganda, yakni sekolah umum pada pagi hingga siang dan sekolah berbasis agama pada sore hari.
Sisi lain efek pemberlakuan full-day school tentang nasib para guru sekolah madrasah ibtidaiyah yang selama ini beroperasi sore. “Mereka akan kehilangan pekerjaan karena siswanya tersedot sekolah umum dan tak bisa seolah saat sore hari,” katanya.
Anggota Komisi, Pendidikan, dan Kesejahteraan Sosial Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jawa Tengah, Muh Zen Adv, juga menolak sistem tersebut. Ia menyatakan kebijakan menteri yang hendak menerapkan full-day school lewat peraturan nomor 25 tahun 2017 itu tanpa proses dengar pendapat stake holder pendidikan. “Selain itu, dari beberapa aspek, bertentangan dengan fakta dan nilai masyarakat,” ujarnya.
Zen menjelaskan, dari sisi psikologis dan emosi akan berbahaya jika anak usia sekolah dasar dan menengah pertama dipaksa bersekolah hingga sore. “Psikolog menyebutkan, kemampuan otak menyerap hanya sampai jam 1 siang.”
Adapun dari sisi aspek sarana dan prasarana, saat ini sekolah di Indonesia belum punya fasilitas representatif hingga sore seperti konsep full-day school. Misalnya, tempat ibadah. Tercatat, di Jawa Tengah, 60 persen sekolah belum punya tempat ibadah. Selain itu, kondisi kantin untuk makan siang belum layak.
Dari sisi ekonomi, orang tua siswa akan menambah biaya. Bagi keluarga kurang mampu, kebijakan itu memberatkan, karena harus mengeluarkan biaya tambahan. “Secara geografis pun tak semua anak desa di daerah pedalaman didukung transportasi sore. Ini ancaman kerawanan kriminal,” katanya.
EDI FAISOL