TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat hukum Universitas Bung Karno, Azmi Syahputra, menilai hak angket KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) oleh Dewan Perwakilan Rayat (KP) tidak memiliki dasar hukum. Aturannya, DPR tak bisa mencampuri urusan KPK yang pada dasarnya bukan lembaga pemerintah.
"Anggota DPR yang masuk tim hak angket harus lebih teliti dan cermat lagi membaca hukum positif lebih, khususnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3 Pasal 199 juncto Pasal 201, yang penafsiran dan syarat pengoperasiannya sangat jelas," katanya di Jakarta pada Minggu malam, 11 Juni 2017.
Lihat juga: Soal Hak Angket, Sikap Fadli Zon Disebut Kerdilkan DPR
Dia menuturkan Indonesia menganut pemisahan kekuasaan agar lembaga pelaksana tugas kenegaraan tidak saling mencampuri lembaga lain. Otoritas KPK sangat jelas. Seharusnya, DPR memahami dan memakai rem yang tegas untuk tidak masuk ke wilayah yang bukan yurisdiksi kewenangannya.
Angket itu menyelidiki pelaksanaan undang-undang atas kebijakan pemerintah. Sedangkan KPK bukanlah lembaga pemerintah, sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. DPR, kata Azmi, jangan seperti orang mabuk yang mengeluarkan jurus tanpa arah. Menurutnya, usul itu harus punya payung hukum dan formulasi pelanggaran apa yang dilakukan KPK. "Jangan sampai proses hukum dimasuki kekuatan politik," ucapnya.
Baca juga: Dugaan Korupsi E-KTP, KPK Periksa Politikus Golkar
Menurut Azmi, jika ada anggota DPR salah, lebih baik mengaku saja, jangan mencari-cari pembenaran. Dalam kasus Kartu Penduduk Elektronik (e-KTP), banyak anggota Dewan yang terlibat. "Jadi bikin angket supaya KPK buka berkas. Ini akal-akalan orang mabuk yang salah jurus. Padahal hanya pengadilan dengan surat penetapan, bukan dengan hak angket," katanya.
Ketua DPR Setya Novanto memilih bungkam saat ditanya mengenai hak angket KPK. Ketika berkunjung ke Dumai, Riau, Minggu, 11 Juni 2017, Setya menutup mulut dan buru-buru masuk ke mobil ketika ditanya soal hak angket itu.
Baca: Pansus Hak Angket KPK Mulai Bekerja, Istana: Silakan Saja
Nama Setya disebut-sebut dalam dugaan korupsi proyek e-KTP. Hal itu diungkapkan saat mantan Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri, Diah Anggraini, memberikan kesaksian dalam persidangan. Diah mengatakan Setya pernah memintanya menyampaikan pesan kepada Irman, mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil, yang kini menjadi terdakwa kasus tersebut.
Pesan tersebut bertujuan agar Diah mengaku tak mengenal Setya kepada penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi. Buntut dari kasus e-KTP, DPR membentuk Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket KPK. DPR seolah-olah memprotes penanganan perkara itu karena sejumlah nama anggotanya disebut menerima uang dari megaproyek itu.
Baca: KPK Sebaiknya Tidak Mengakui Keberadaan Pansus Hak Angket
Pansus Hak Angket KPK itu dibentuk dan diisi anggota DPR yang namanya disebut dalam proses persidangan kasus e-KTP. Salah satunya Agun Gunandjar, politikus Partai Golkar, yang juga menjadi Ketua Pansus Hak Angket DPR untuk KPK. "Saya memikul tanggung jawab bukan tanpa risiko, opini akan saya hadapi,” katanya saat ditanya Tempo, Jumat, 9 Juni 2017.
RIYAN NOFITRA | HUSEIN ABRI | ANTARA