TEMPO.CO, Yogyakarta - Para anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal Daerah Istimewa Yogyakarta menyadari perlawanan mereka di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta tak mudah. Mereka menggugat soal pengambilan sumpah pimpinan DPD yang dinilai tidak sah.
"Kami sadar siapa yang kami hadapi. Gugatan (DPD) ke pengadilan, sedangkan yang dilawan adalah Mahkamah Agung, yang membawahi semua peradilan. Namun masyarakat tahu di mana posisi kami," kata anggota DPD asal Daerah Istimewa Yogyakarta, Cholid Mahmud, akhir pekan lalu.
Baca juga:
Kubu GKR Hemas Adukan Sekjen DPD, Dianggap Paksa Dukung OSO
Diadukan ke Komisi ASN, Sekjen DPD: Senator Jangan Memaksa
Bahkan ia mengibaratkan perjuangan para anggota DPD yang menentang proses hingga pelantikan pimpinan baru itu seperti burung yang membawa air di paruhnya pada zaman Nabi Ibrahim. Saat Nabi Ibrahim dibakar, lalu ada burung yang membawa air di paruhnya untuk memadamkan api. Burung-burung lain mengolok karena tidak mungkin air sedikit itu bisa memadamkan api yang besar. Namun si burung hanya menjawab, "paling tidak posisiku diketahui, di mana aku memihak."
Sebanyak 46 dari 132 anggota DPD tidak setuju dengan pemilihan pimpinan baru mereka. Alasannya bukan soal jabatan, tapi soal hukum yang dilanggar mereka.
Baca pula:
Sekjen DPD: Statement Pukat UGM Hanya Asumsi
Kisruh kepemimpinan DPD ini dimulai dari gagasan masa jabatan pimpinan tidak harus lima tahun, tapi cukup dua tahun enam bulan. Gagasan ini lalu dituangkan dalam Peraturan DPD Nomor 1 Tahun 2016 tentang Tata Tertib.
Karena langkah ini dianggap tidak sesuai dengan Undang-Undang MPR, DPD, DPR, dan DPRD (MD3), anggota yang tidak setuju mengajukan upaya hukum. Pertama, ke Mahkamah Konstitusi, yang kemudian ditolak karena persoalan tata tertib bukan domain MK.
Lalu anggota yang tidak setuju melakukan upaya hukum ke Mahkamah Agung. Sebelum Mahkamah Agung mengeluarkan putusan, pada 3 April 2017 direncanakan pemilihan pimpinan baru.
Silakan baca:
Kisruh Pimpinan DPD, Hemas Gugat Pelantikan ke PTUN
Ternyata, tiga hari sebelum pemilihan, Mahkamah Agung melayangkan surat keputusan, yang intinya menerangkan Peraturan DPD Nomor 1 Tahun 2016 tentang Tata Tertib bertentangan dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3 dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang P3. Karena itu, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan memerintahkan pimpinan DPD untuk mencabut tata tertib itu.
Sidang pada 3 April sangat ricuh. Sidang yang dipimpin GKR Hemas dan Farouk Muhammad itu memanas. Banyak anggota DPD yang berasal dan menjadi pengurus partai politik menginginkan pemilihan pimpinan baru. Setelah ditutup, sidang ricuh. Lalu pada 4 April dinihari sidang dibuka lagi oleh pemimpin sidang, Farouk.
Simak:
Kisruh DPD, Kubu Oso Optimistis Menang di PTUN
Sidang dilanjutkan dengan menunjuk anggota tertua menjadi pimpinan sidang, yaitu A.M. Fatwa, yang menurut Cholid pro pemilihan pimpinan baru. Pemilihan menghasilkan Oesman Sapta Odang menjadi ketua, sementara dua wakil ketua dijabat Darmayanti Lubis dan Nono Sampono.
"Kami sepakat, tanpa integritas, DPD bagaikan kerangka tanpa daging dan jiwa sehingga tidak akan berguna bagi bangsa dan negara," kata Cholid.
Menurut Gusti Ratu, hal yang dilakukan kubunya itu bukan soal kekuasaan, tapi demi tegaknya hukum. Kalau soal jabatan dan kekuasaan, istri raja Yogyakarta ini beberapa kali ditawari menjadi Wakil Ketua MPR. "Jika dibiarkan, kasus ini akan memperburuk tata hukum di Indonesia," kata Hemas.
Baca:
Hemas Mengaku Ditawari Posisi Wakil Ketua MPR Oleh Oesman Sapta
Bahkan, kata dia, skenario gagasan masa jabatan hanya dua tahun enam bulan itu sudah direncanakan sejak kekalahan tiga pimpinan DPD versi Oesman ini. Sebab, saat pemilihan pimpinan, setelah para anggota DPD dilantik 2014, mereka kalah. Darmayanti kalah dari Irman Gusman, Oesman kalah dari Hemas, dan Nono kalah dari Farouk.
Semua anggota DPD dari Daerah Istimewa Yogyakarta tidak mengambil uang reses sebesar Rp 145 juta per orang. Sebab, bagi yang akan mencairkan harus mengakui kepemimpinan Oesman.
"Bahkan Sekretaris Jenderal DPD menahan uang reses jika anggota tidak mengakui kepemimpinan OSO (Oesman Sapta Odang). Namun surat pernyataan mengakui itu tidak kuat secara hukum," kata Afnan Hadikusumo, salah satu perwakilan DPD dari Daerah Istimewa Yogyakarta.
Keputusan upaya hukum ke Pengadilan Tata Usaha Negara akan dikeluarkan pada 8 Juni mendatang. Masyarakat menunggu keputusan Mahkamah Agung, yang dinilai melanggar keputusannya sendiri, soal tata tertib dan melantik pimpinan baru DPD.
MUH. SYAIFULLAH