TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Panitia Khusus pembahasan Revisi Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (Revisi UU Antiterorisme), Muhammad Syafii, menolak lambatnya penyelesaian RUU ini berdampak terhadap munculnya aksi-aksi teroris belakangan ini. Sebab, meski belum selesai dibahas, aparat sudah memiliki dasar hukum yaitu UU yang lama.
"Jika kejadian teror karena UU ini belum selesai, itu lebay (berlebihan)," kata Muhammad Syafii di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, 30 Mei 2017.
Baca : Bom Kampung Melayu, Jokowi Desak Pembahasan Revisi UU Antiterorisme Dipercepat
Syafii menjelaskan ada beberapa hal yang membuat pembahasan RUU ini lambat. Pertama, kata dia, secara teknis pembahasan RUU ini hanya Rabu dan Kamis. "Kalaupun bersamaan dengan kegiatan paripurna, itu tidak bisa dilaksanakan," ujarnya.
Kedua, menurut politikus Partai Gerindra ini, secara substansi Revisi UU Antiterorisme yang diajukan pemerintah hanya berisikan soal penindakan. Sementara itu, Pansus menginginkan agar RUU ini mengatur pula soal pencegahan dan penanganan korban
"Pencegahan dan penanganan korban sama sekali belum disentuh. Oleh karena itu, DPR dan pemerintah sepakat melengkapinya," ucapnya.
Meski sempat diperpanjang waktu pembahasannya, Syafii memastikan bahwa RUU ini akan selesai tahun ini. "Progresnya cukup signifikan. Sudah bahas 50 persen lebih daftar inventaris masalah," tuturnya.
Simak pula : Sebab-sebab Lambatnya Pembahasan RUU Antiterorisme
Desakan untuk menyelesaikan RUU Antiterorisme ini menguat setelah aksi bom bunuh diri kembali terjadi di Indonesia. Dua buah bom meledak di terminal Kampung Melayu pada rabu pekan lalu dan mengakibatkan lima orang tewas dan sepuluh lainnya luka-luka.
Dalam Revisi UU Antiterorisme ini setidaknya ada beberapa isu krusial yang dibahas seperti definisi terorisme, pelibatan TNI, perpanjangan masa tahanan, dan perhatian untuk para korban.
AHMAD FAIZ