TEMPO.CO, Jakarta - Tersangka dugaan korupsi kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP), Andi Agustinus, alias Andi Narogong membeberkan perannya dalam kasus dugaan korupsi e-KTP di hadapan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta.
Pengusaha, yang diduga sebagai rekanan Kementerian Dalam Negeri, ini menjadi saksi untuk terdakwa Irman, yang merupakan bekas Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, dan Sugiharto, bekas Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan Kementrian Dalam Negeri, dalam sidang korupsi e-KTP hari ini, Senin, 29 Mei 2017.
Baca:
Setya Novanto Serahkan Kasus E-KTP ke Penegak Hukum
Andi memulai ceritanya saat dia mendengar rencana pemerintah mengadakan lelang proyek e-KTP pada 2010. Saat itu, Andi mengaku sempat ingin mengikuti tender e-KTP melalui perusahaan yang dikelolanya, yaitu PT Cahaya Widya Kusuma.
Andi lalu menghubungi Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri, Diah Anggraeni, untuk menanyakan soal proyek itu. "Karena saya kenalnya dengan Bu Sekjen," katanya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin, 29 Mei 2017.
Baca juga:
Hotma Sitompul Akui Bertemu Setya Novanto Bahas Kasus E-KTP
Menurut Andi, saat itu Diah menyuruhnya untuk berkoordinasi dengan bagian administrasi kependudukan. Saat itu, Irman menjabat sebagai pelaksana tugas Dirjen Dukcapil, yang membawahi bagian ini.
Pada pertemuan pertama, Irman hanya bicara normatif. Setelah beberapa kali pertemuan dan pendekatan, kata Andi, Irman mulai mencair. "Pak Irman bilang kalau mau ikut e-KTP silakan ke konsorsium Karatama (Karsa Wira Utama) karena menang uji petik 2009," kata Andi.
Selanjutnya, Andi mencoba mengejar Winata Cahyadi, Direktur PT Karatama, untuk membentuk konsorsium bersama. Namun, Andi ditolak tiga kali karena PT Karatama sudah membentuk konsorsium dengan Peruri.
Akhirnya, Andi mengejar pemenang uji petik kedua, yaitu Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI). Ia pun lalu dikenalkan dengan Isnu Edhi, Direktur Utama PNRI. "Pak Isnu ternyata sangat terbuka," katanya.
Pada Maret 2010, Irman mengenalkan Andi dengan Johanes Tanjaya, Direktur PT Java Trade Utama. Menurut Andi, Johanes adalah orang yang bisa membuka kunci Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) proyek e-KTP. "Semua peserta yang ikut e-KTP harus dibukakan kunci SIAK-nya oleh Pak Johanes Tan," kata Andi.
Pada pertengahan 2010, Andi mengaku dipanggil ke ruangan Irman untuk dikenalkan dengan Direktur PT Sandipala Arthapura, Paulus Tannos. Irman, kata Andi, mengatakan bahwa Paulus adalah orang dekat Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi.
Kemudian Irman memerintah Andi untuk memasukkan Paulus dalam konsorsium PNRI. Andi mengatakan PNRI menerima Paulus dengan tangan terbuka karena dia memiliki modal Rp 1 triliun.
Mulai dari situ, Andi beserta seluruh anggota konsorsium mengadakan pertemuan-pertemuan. Kadang di PNRI, kadang di Pacific Place. Karena merasa membutuhkan tempat berkumpul, akhirnya Andi meminjamkan rukonya di Fatmawati sebagai tempat rapat. Pertemuan di ruko Fatmawati itu terjadi pada pertengahan hingga akhir 2010.
"Setelah itu kami penjajakan dengan berbagai percetakan yang dibawa Pak Paulus dan PNRI dan Johanes Tan. Saya orang baru tapi saya dikenalkan sama peserta lama," kata Andi.
Di sela-sela waktu itu, Paulus mengenalkan Andi dengan Azmin Aulia, adik Gamawan Fauzi. Kemudian pada pertemuan kedua, Andi dipanggil ke rumah Paulus. Pada pertemuan itu hadir juga Azmin Aulia, Irman, dan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Ditjen Dukcapil Kementerian Dalam Negeri, Sugiharto.
"Inti pembicaraan mereka, Pak Azmin mengatakan bahwa yang jadi dirjen Pak Irman, direktur Pak Giarto. Saya hanya mendengarkan," ujar Andi.
Pada suatu pertemuan di PNRI tahun 2011, Andi kembali dikenalkan dengan peserta lain, yakni PT LEN, PT Sucofindo, dan PT Quadra Solution. Selanjutnya konsorsium PNRI terbentuk pada Februari 2011.
Tapi saat pengumuman lelang, perusahaan Andi tidak bisa ikut konsorium karena terhalang persyaratan administrasi. Andi mengatakan perusahaannya tidak memiliki izin Badan Koordinasi Pemberantasan Uang Palsu untuk percetakan baru dan tidak memiliki izin security printing. "Saya juga tidak punya kemampuan dasar percetakan," katanya.
Meski begitu, Andi berusaha ikut terlibat dengan harapan bisa mendapat sub-sub pekerjaan proyek bernilai Rp 5,9 triliun itu. "Karena saya ingin mengembangkan bisnis," ucap dia.
Suatu hari, Irman melalui Sugiharto memanggil Andi. Menurut Andi, saat itu Irman meminta bantuan operasional kepada Andi uang sebesar US$ 1,5 juta (sekitar Rp20 miliar). Andi menyanggupinya.
"Harapannya agar siapapun pemenangnya saya dapat sub yang direkomendasikan Pak Irman," kata dia.
MAYA AYU PUSPITASARI