Winang Budoyo
(Penulis adalah Chief Economist PT Bank Tabungan Negara Tbk (BTN)
Baca Juga:
INFO NASIONAL - Hingga kuartal I 2017, fundamental perekonomian Indonesia sudah membaik. Inflasi relatif rendah, yakni berada di kisaran 3 persen sepanjang 2015-2016. Hanya, pada tahun ini, kemungkinan inflasi menjadi di atas 4 persen akibat kenaikan tarif listrik. Meski demikian, inflasi secara nasional masih bisa dikatakan rendah mengingat rata-rata inflasi selama 20 tahun terakhir berkisar 6 persen.
Neraca perdagangan sudah kembali surplus dan defisit neraca pembayaran semakin kecil . Sayangnya, surplus neraca perdagangan lebih banyak disumbang penurunan impor, yang lebih besar daripada kenaikan ekspor. Nilai tukar rupiah juga relatif stabil di kisaran Rp 13 ribu per dolar Amerika Serikat. Meskipun nilai tukar rupiah itu terkadang dirasa paling buruk di kawasan, nyatanya rupiah justru mengalami penguatan nilai 2,3 persen sepanjang 2016. Dari sisi perbankan, posisi perbankan secara umum masih solid, yang ditunjukkan dengan capital adequacy ratio (CAR) masih di atas 20 persen dan net interest margin (NIM) di atas 5 persen. Hanya, pertumbuhan kredit masih rendah lantaran perbankan masih berfokus pada upaya mengelola kualitas kredit di tengah masih tingginya kredit bermasalah .
Setelah menunggu selama 20 tahun, akhirnya Standard & Poor’s Global Ratings (S&P) kembali menempatkan rating Indonesia pada level investment grade (BBB- atau layak investasi) pada19 Mei lalu. Sedangkan Fitch Ratings sudah menaikkan peringkat Indonesia menjadi investment grade pada Desember 2011, sementara Moody's Investor Service pada Januari 2012. Salah satu pertimbangan S&P menyandangkan predikat investment grade lantaran pemerintah dinilai mampu mengurangi risiko fiskal. Bank Indonesia pun dinilai mampu mendorong pertumbuhan ekonomi melalui kebijakan moneter yang sudah diterapkan, yang dapat menjaga Indonesia terbebas dari financial shock dan menjaga industri perbankan tetap stabil .
Baca Juga:
Namun jangan sampai momentum investment grade dari S&P Global Ratings tersebut hanya menjadi euforia tanpa melakukan perbaikan apa pun sehingga malah menjadi tidak berguna. Dalam jangka pendek, efek kenaikan peringkat oleh S& P lebih menyentuh sisi capital market, terutama pasar obligasi dan pasar saham. Dalam beberapa kali roadshow, obligasi pemerintah ditawarkan ke beberapa perusahaan dana pensiun di kawasan Asia. Hal itu menunjukkan bahwa mereka sudah sebenarnya memandang Indonesia sebagai sebuah opportunity untuk berinvestasi. Namun mereka mengaku tidak bisa berinvestasi karena peraturan internal, yang hanya membolehkan berinvestasi di negara-negara yang memiliki rating investment grade dari Standard & Poor’s.
Tantangan ke depan adalah bagaimana supaya investasi jangka pendek bisa diarahkan ke sektor riil, misalnya untuk membangun pabrik. Pemerintah sudah mengeluarkan paket kebijakan ekonomi hingga jilid ke-14 yang bertujuan memperbaiki iklim investasi di Indonesia, tapi payung hukumnya harus jelas. Sebab, bila tidak ada payung hukum, kebijakan akan mudah berubah.
Terlebih, Indonesia memiliki momentum lain, di antaranya sebagai negara tujuan investasi ketiga setelah India dan Cina. Ini dari perspektif ekonomi makro. Namun terkadang, dari perspektif makro bagus, tapi ada faktor non-ekonomi yang masih mengganggu. Salah satunya kegaduhan politik dan hukum. Kegaduhan ini harus diselesaikan sehingga membuat investor menjadi betah berada di Indonesia.
Ada juga faktor lain yang juga mesti dicermati. Pertama, perekonomian Amerika sudah menunjukkan tanda membaik walau belum secepat yang diharapkan. Kondisi tersebut merupakan peluang bagi Indonesia untuk menarik dana investasi asing agar masuk ke pasar Indonesia. Kedua, adanya pembukaan peluang yang dilakukan pemerintah dengan lebih condong ke pasar Asia dan Afrika. Ini bagus karena Indonesia membuka pasar-pasar baru di luar negeri, tidak hanya ke pasar Amerika, Eropa, dan Jepang. Sekarang, setiap pejabat Indonesia di suatu negara didorong untuk dapat membuka pasar baru. Sekecil apa pun negara tersebut, bila ada peluang ekspor, harus dimasuki.
Ketiga, Cina juga menarik diamati. Meski ekonomi Cina sempat menurun, tapi kini sudah membaik. Cina mengajak kerja sama investasi dengan mengadakan Forum One Belt and One Road (OBOR) dan Belt and Road Initiative (BRI) dengan menghidupkan Jalur Sutra Kuno. Ini menarik karena melibatkan 60 negara dan lebih jelas di depan mata daripada Trans Pacific Partnership (TPP). Indonesia memang harus pragmatis untuk dapat melihat negara mana yang sebenarnya memiliki dana yang dapat dimanfaatkan. Namun tetap harus berusaha agar dapat memanfaatkan peluang-peluang tersebut supaya bisa dipakai sebagai sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia.