TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Joko Widodo atau Jokowi menyampaikan pentingnya menyeimbangkan pendekatan hard-power dengan soft-power dalam mengatasi terorisme. Pernyataan ini disampaikan Jokowi saat berbicara dalam Arab Islamic America Summit atau Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Arab Islam-Amerika di Conference Hall King Abdulaziz Convention Center, Riyadh, Arab Saudi, Minggu, 21 Mei 2017.
Jokowi mengatakan, selain melakukan pendekatan hard-power, Indonesia mengutamakan pendekatan soft-power melalui agama dan budaya. "Untuk program deradikalisasi, misalnya, otoritas Indonesia melibatkan masyarakat; keluarga, termasuk keluarga mantan narapidana terorisme yang sudah sadar; dan organisasi kemasyarakatan," ucap Jokowi dalam siaran pers Kepala Biro Pers, Media, dan Informasi Sekretariat Presiden Bey Machmudin, Minggu malam.
Baca juga: 4 Ide Jokowi Mengatasi Terorisme di Dunia
Untuk kontra-radikalisasi, ujar Jokowi, cara yang bisa digunakan antara lain merekrut para netizen muda dengan follower banyak untuk menyebarkan pesan-pesan damai. "Kita juga melibatkan dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, yaitu Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, untuk terus menyiarkan Islam yang damai serta toleran," tutur Jokowi.
Dia mengatakan pesan-pesan damailah yang harus diperbanyak, bukan pesan-pesan kekerasan. Setiap kekerasan akan melahirkan kekerasan baru. Sejarah mengajarkan bahwa senjata dan kekuatan militer saja tidak akan mampu mengatasi terorisme. Pemikiran yang keliru hanya dapat diubah dengan berpikir yang benar.
Dalam kesempatan itu, Jokowi menyatakan pertemuan KTT Arab Islam-Amerika memiliki makna penting, yaitu mengirimkan pesan kemitraan dunia Islam dengan Amerika Serikat dan menghilangkan persepsi bahwa Amerika Serikat melihat Islam sebagai musuh. Pertemuan tersebut juga harus mampu meningkatkan kerja sama pemberantasan terorisme sekaligus mengirimkan pesan perdamaian kepada dunia.
Jokowi berujar, ancaman radikalisme dan terorisme terjadi di mana-mana. Indonesia adalah salah satu negara korban aksi terorisme, misalnya dalam serangan di Bali pada 2002 dan 2005 serta serangan di Jakarta, Januari 2016.
Menurut Jokowi, dunia marah dan berduka melihat jatuhnya korban saat serangan terorisme terjadi di Prancis, Belgia, Inggris, Australia, dan negara-negara lain. Namun dunia seharusnya juga sangat prihatin terhadap jatuhnya lebih banyak korban jiwa akibat konflik dan aksi terorisme di beberapa negara, seperti Irak, Yaman, Suriah, dan Libya. "Umat Islam adalah korban terbanyak dari konflik dan radikalisme terorisme," ucap Jokowi.
Jokowi menuturkan jutaan orang harus keluar dari negaranya untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Jutaan generasi muda kehilangan masa depan. "Kondisi ini membuat anak-anak muda frustrasi dan marah. Rasa marah dan frustrasi ini dapat berakhir dengan munculnya bibit-bibit baru ekstremisme dan radikalisme," kata Presiden.
AMIRULLAH SUHADA