TEMPO.CO, Jakarta – Haris Azhar, pendiri Lokataru, lembaga advokasi hukum dan hak asasi manusia mengungkapkan pendapatnya mengenai Hari Kebangkitan Nasional yang diperingati hari ini, 20 Mei. “Seharusnya, bangsa yang sudah lebih 70 tahun merdeka, bisa menyerap semangat kebangkitan nasional dalam sistem dan kultur harian. Bukan seremonial setiap peringatannya saja,” kata Haris kepada Tempo, Sabtu, 20 Mei 2017.
Haris Azhar merasa prihatin bila Hari Kebangkitan Nasional sekadar jadi perayaan dan terserap hanya dalam spanduk peringatan itu sendiri. “Kita sebagai bangsa lebih banyak bersandiwara, membiarkan penjahat berkuasa. Mereka melakukan kekerasan, kriminalisasi, korupsi, dan tidak taat hukum. Lalu “mendakukan” kebenaran dan menganggap yang berbeda sebagai penjahat dan tidak disiplin. Semangat berbangsa dijadikan klaim sepihak,” katanya.
Baca juga:
Agenda Reformasi 1998, Haris Azhar: Tidak Apresiasi Orang Munafik
Ia mencontohkan. “Saya juga tidak setuju dengan HTI (Hizbut Tahrir Indonesia), tapi cara negara menghardik HTI seolah si negara sudah benar dalam memberikan pelayan keadilan dan kesejahteraan,” katanya, menandaskan.
Dalam kasus HTI, menurut dia, ideologi HTI bisa subur karena negara tidak mengurus hak masyarakat. “Masyarakat banyak yang ikut HTI atau sejenisnya karena mereka tidak pernah merasa sebagai pemilik di Republik ini. Kalau begini situasinya, kita hanya akan terus menyaksikan rentetan represi dan klaim ancaman satu sama lainnya,” kata Haris. “Kalau sudah begini apanya yang mau bangkit, yang ada malah tenggelam dan tertindas,” ujarnya.
Baca pula:
Peringati Tragedi Mei 1998, Haris Azhar: Ada 2 Tipe Aktivis Reformasi
Menurut Haris Azhar, untuk mengubahnya, Republik harus diurus oleh kecerdasan dan kematangan, bukan oleh otoritas politik yang ada hari ini. “Karena yang ada hari ini saling sandera!” tuturnya.
Haris Azhar, mantan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), pun memberi catatan terhadap situasi hak asasi manusia di negeri ini. “HAM sudah memburuk. Ke depan akan lebih buruk karena negara hanya jadi kompetitor image building sekaligus kalah oleh kepentingan kuasa dan modal. Negara sebagai penanggung jawab perlindungan dan pemenuhan hak asasi hanya makin jauh dari kebutuhan rakyatnya,” katanya.
S. DIAN ANDRYANTO