TEMPO.CO, Yogyakarta - Ketua Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme Kiai Haji Abdul Muhaimin menyatakan pemberitaan di media massa supaya memberi kesejukan dan tidak mengarah ke provokasi yang mengakibatkan pembacanya menjadi radikal. Akibat radikalisme, berpotensi terjadi aksi terorisme.
"Harus membawa misi peace jurnalisme, titiknya ada di situ program kami," kata Muhaimin, Kamis, 11 Mei 2017. (Baca: Marak Penolakan HTI, Said Aqil: Gubernur Harus Bisa Bina Warga)
Maraknya media daring dan mudahnya akses ke situs-situs berita maupun blog membuat masyarakat saat ini juga menjadi bagian yang kaget untuk memahami isi berita. Shock culture terjadi karena minimnya pemahaman literasi media. Apalagi saat ini sangat banyak media sosial yang isinya provokatif dan saling hujat serta mengandung ajaran terorisme.
Sasaran forum koordinasi ini adalah para bloger, para santri, guru, pekerja media dan lain-lain untuk menularkan ajaran dan pemberitaan yang mengundang kedamaian. Bukan justru menyebarkan ajaran radikal yang tidak bisa diterima di negeri ini. (Baca: 50 Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri Tolak Paham Radikal)
Pengasuh Pesantren Nurul Ummahat Kotagede Yogyakarta ini menambahkan di era perkembangan teknologi dan informasi yang semakin maju, media justru memiliki potensi menjadi sarana terjerembabnya seseorang ke dalam radikalisme.
Menurut dia, berkembangnya paham radikalisme terorisme banyak melalui media cetak, media daring, dan media sosial. Bahkan, para pengikut paham ini dibaiat tanpa harus bertemu secara langsung, hanya dengan melalui telepon pintar saja sudah cukup.
"Angkatlah isu-isu kebudayaan untuk menumbuhkan rasa damai dalam kehidupan di masyarakat," kata dia. (Baca: Ketua MUI KH Ma`ruf Amin: Khilafah Tidak Cocok di Indonesia)
Apalagi, Yogyakarta dijuluki dengan City of Tolerance. Maka harus dijaga dan diredam cara-cara radikal yang belakangan ini sering terjadi. Dengan kultur Yogyakarta yang damai, maka paham radikalisme terorisme bisa dicegah sedini mungkin.
FKPT juga melakukan dialog lierasi media sebagai upaya untuk mencegah dan menangkal radikalisme terorisme. Sebab, medialah yang menjadi salah satu sarana penyeimbang munculnya gerakan radikal yang menjurus ke aksi terorisme.
Pelibatan media massa dalam pencegahan trorisme yang diselenggarakan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme dan FKPT di 32 provinsi se-Indonesia di sepanjang tahun 2017. Di Yogyakarta, acara ini diadakan pada Rabu, 10 Mei 2017 di hotel Alana. (Baca: Shinta Wahid: Survei Ungkap Adanya Kebencian pada NonMuslim)
Kepala Kepolisan Daerah Yogyakarta Brigadir Jenderal Ahmad Dofiri menyatakan Yogyakarta termasuk daerah yang paling banyak menyebarkan berita tidak benar alias hoax di media sosial. Media massa justru mempunyai peran yang sangat strategis dalam membantu pencegahan terorisme.
"Media massa harus menjadi penyeimbang," kata dia.
Namun, ia justru khawatir, media massa yang saat ini justru memuat berita atau tulisan untuk kepentingan pemodal atau politik suatu kelompok. Pemberitaan yang tidak sesuai fakta berpotensi menimbulkan gesekan di masyarakat dan memantik munculnya radikalisme.
Untuk mencegah radikalisme dan terorisme. Dofiri menambahkan, harus melibatkan seluruh komponen masyarakat, mengajak insan pers, pegiat media sosial dan elemen masyarakat lainnya. Penyebaran paham ini cukup masif di media terutama media sosial. "Media massa mainstream dan televisi bisa mengedukasi masyarakat," kata Dofiri. (Baca: Yenny Wahid: 11 Juta Warga Siap Lakukan Tindakan Radikal)
MUH SYAIFULLAH