TEMPO.CO, Yogyakarta - Aksi damai ratusan orang mendukung Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok di Tugu Yogyakarta diwarnai ketegangan. Ini karena puluhan orang mencoba membubarkan aksi itu, Rabu malam, 10 Mei 2017. Kepolisian Resor Kota Yogyakarta melepas empat kali tembakan untuk mengendalikan situasi yang menegangkan ini.
Polisi menangkap enam provokator yang berpakaian mirip preman. Puluhan perusuh itu membunyikan knalpot motor dengan keras. Mereka membawa senjata di antaranya tongkat kayu. Ketika ditanya mengapa polisi melepas empat kali tembakan itu, Kapolres Yogyakarta, Komisaris Besar Polisi, Tommy Wibisono, mengatakan itu dilakukan sesuai situasi di lapangan. "Mereka bawa stik dan bendera berwarna hitam dengan tulisan Arab," kata Tommy.
Baca Juga:
Baca: Ahok Ditahan, Djarot: Empat Alasan Penangguhan Penahanan
Sore hari sebelum aksi damai berlangsung, ada pesan berantai beredar dengan nada provokatif mengatasnamakan Forum Umat Islam DIY. Isi pesan itu adalah memerintahkan kepada seluruh Laskar Islam untuk bersiaga membubarkan aksi damai di Tugu. Mereka menganggap acara itu terindikasi melecehkan Islam atau ulama.
Ada juga pesan berantai yang menyerukan seluruh laskar Islam untuk berkumpul di titik tertentu dan merangsek ke Tugu. Dalam pesan berantai itu juga mewajibkan peserta membawa sorban atau penutup muka, pemukul atau pedang komando, pasta gigi, bom molotov atau nanas, seragam laskar, dan sepatu lapangan. Pengirim pesan itu juga menyebut tindakan itu sebagai jihad.
Baca: Ahok Minta Djarot Tinggal di Rumah Dinas Gubernur DKI
Koordinator Forum Umat Islam DIY, Muhammad Fuad Andreago, tidak menjawab konfirmasi Tempo ihwal kalangan, yang bertanggung jawab terhadap para perusuh itu. Saat Tempo mencoba menghubungi nomor Fuad, panggilan telpon ini dialihkan.
Aksi damai ratusan orang mendukung Ahok digelar oleh Aliansi Merapi di kawasan Tugu. Mereka kebanyakan kalangan muda, sebagian merupakan mahasiswa sejumlah kampus di Yogyakarta, seperti Universitas Sanata Dharma dan Universitas Atmajaya. Mereka menyalakan lilin, mengenakan pakain berwarna putih, dan pita hitam.
Koordinator aksi, Pedro, mengatakan aksi itu mengingatkan masyarakat bahwa Pemilihan Kepala Daerah di DKI Jakarta diwarnai sentimen dan rasisme berbau agama. Sentimen itu, menurut Pedro, membahayakan Indonesia.
Ratusan massa itu mengenakan kaus berwarna putih sebagai simbol hati yang tulus dan bersih. Pita hitam menggambarkan keprihatinan masyarakat terhadap vonis hukuman dua tahun terhadap Ahok, yang mereka anggap tidak adil.
Simpatisan Ahok yang menentang rasisme itu menyanyikan lagu Indonesia Raya, Gugur Bunga, dan Garuda Pancasila. "Kami menolak sentimen berbasis agama dan meminta keadilan ditegakkan," kata Pedro.
Beberapa menit setelah Pedro berorasi dan peserta menyalakan lilin, sekelompok orang mencoba membubarkan aksi damai itu dari arah barat Tugu. Mereka mencoba menerobos penjagaan ketat ratusan polisi dan Brimob yang bersenjata lengkap. Polisi menyuruh mereka bubar dan membuat sekelompok itu kocar-kacir di depan Pasar Kranggan.
Simpatisan Ahok yang dijaga barikade polisi tetap bertahan di sebelah timur Tugu. Mereka terus melanjutkan aksi damai dengan menyanyikan lagu-lagu kebangsaan dan kembali menyalakan lilin. Massa pendukung Ahok dan penolak rasisme terus berdatangan ke Tugu.
Polisi kemudian membawa enam provokator dan barang bukti berupa sepeda motor, stik atau tongkat kayu ke kantor polisi. Komisaris Besar Polisi, Tommy Wibisono, berjanji memproses anggota kelompok intoleran ini. "Saya tidak rela. Tidak ikhlas Yogyakarta yang sudah aman dan nyaman diganggu orang-orang yang tidak bertanggung jawab," kata Tommy.
Ketika dikonfirmasi apakah perusuh itu berasal dari FUI, Tommy tidak menjawabnya. Dia hanya menyebut perusuh itu adalah satu di antara organisasi masyarakat di Yogyakarta. "Kami sudah amankan dan sedang mendalami. Nanti ada proses hukum," kata dia.
Tommy menyatakan aksi polisi mengatasi provokator itu adalah perintah Presiden Joko Widodo yang menekankan agar negara tidak boleh kalah dengan kelompok-kelompok tertentu.
SHINTA MAHARANI