TEMPO.CO, Jakarta - Presiden ke-3 Republik Indonesia BJ Habibie tidak mengetahui permasalahan dan tantangan yang dihadapi oleh pemerintah saat ini sehingga penyelesaian peristiwa Mei tahun 1998 masih tersendat.
Habibie meminta keluarga dan pendamping korban peristiwa tersebut untuk mengumpulkan dokumen-dokumen tragedi kemanusiaan tersebut.
Baca juga:
Komnas Perempuan Gelar Peringatan Tragedi Mei 1998 di TPU Ranggon
Jaksa Agung: Penyelesaian Kasus 1998 Secara Nonyudisial
"Nanti serahkan dokumennya ke Komnas Perempuan, saya yang sampaikan langsung ke Presiden Jokowi," kata Habibie dalam acara bertajuk Pidato Kebangsaan di Lokasi Pemakaman Massal Korban Tragedi Mei 98, di TPU Pondok Rangon, Jakarta Timur, pada Senin 8 Mei 2017.
Acara itu diadakan oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Habibie diundang karena dianggap sebagai tokoh yang mau mendengarkan dan menanggapi keresahan para korban.
Habibie juga dinilai sebagai tokoh yang menolak kekerasan, menyatakan permintaan maaf kepada korban, dan mengupayakan pembentukan tim pencari fakta ketika menjabat Presiden RI.
Menurut Habibie, penyelesaian tidak dilakukan di masa jabatan pemerintahnya dengan alasan persatuan bangsa. Saat itu bangsa Indonesia masih dalam masa transisi.
"Dari sistem otoriter ke demokrasi," ujar Habibie.
Menurutnya jika dipaksakan kondisi Indonesia akan seperti Uni Soviet yang akan terpecah. Negara adidaya ini pecah menjadi 17 negara saat transisi. Padahal mereka tidak semajemuk Indonesia.
"Prediksi bisa terpecah 20-30 negara jika kita paksakan," ujarnya.
Habibie juga mengkritik mereka yang ingin menganti ideologi dengan berbasiskan agama. Pancasila merupakan ideologi persatuan kita. Agama harus bersinergi dengan budaya yang majemuk. "Keyakinan yang bernama NKRI," katanya.
Tragedi Mei 1998 adalah kerusuhan rasial terhadap etnis Tionghoa yang terjadi di Jakarta dan beberepa daerah lain pada 13-15 Mei 1998. Satu hari sebelumnya, empat mahasiswa Universitas Trisakti ditembak dan terbunuh dalam demonstrasi 12 Mei 1998.
Simak juga:
FEATURE: Tragedi Mei 1998, Kisah Penyintas dari Yogya Plaza
FEATURE: Tragedi Mei 1998, Mereka yang Setia Merawat Ingatan
Presiden Soeharto kemudian mengundurkan diri digantikan oleh BJ Habibie yang saat itu menjabat Wakil Presiden Indonesia.
Ketua Komnas Perempuan Azriana mengungkapkan ada dua hal yang melekat dari tragedi Mei 98. Pertama, kekerasan seksual kepada etnis Tionghoa. Kedua, tewasnya sejumlah orang yang dikondisikan masuk ke dalam pertokoan yang kemudian dibakar.
IRSYAN HASYIM | UWD