TEMPO.CO, Jakarta - Juru bicara Komisi Pemberantasan Korupsi, Febri Diansyah, mengatakan KPK telah menerima panggilan untuk menghadiri persidangan praperadilan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang diajukan Syafruddin Tumenggung (SAT). Persidangan praperadilan bakal digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 15 Mei 2017.
"SAT selaku tersangka menilai KPK tidak berwenang karena ini kasus BLBI ranah perdata dan tidak bisa menangani kasus berlaku surut," kata Febri di gedung KPK, Jakarta, Selasa, 9 Mei 2017. Febri pun menyatakan KPK siap menghadapi gugatan praperadilan Syafrudin Tumenggung.
Baca: Pengamat Hukum: Kasus BLBI Rumit, Semoga KPK Bisa Tuntaskan
Ia menjelaskan ruang lingkup pengusutan kasus yang dilakukan adalah pada 2002-2004 dan tidak membicarakan perjanjian perdata. "Tapi pada indikasi adanya penerbitan SKL oleh pejabat tertentu dalam hal ini tersangka bersama pihak lain," kata Febri. Selain itu, kata Febri, obligor Syamsul Nursalim diduga belum melunasi kewajiban sehingga menimbulkan kerugian negara Rp 3,75 triliun.
KPK bakal mempelajari gugatan tersebut, baik sifat maupun ranah pidana atau perdata kasus ini. "Karena pejabat publik punya kewenangan tapi apakah dilaksanakan secara benar atau sewenang-wenang," katanya.
KPK akan mengejar dan mendata aset-aset Sjamsul Nursalim untuk mengembalikan kerugian negara. Pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) itu masih berutang sekurang-kurangnya Rp 3,7 triliun kepada negara. Ia merupakan salah satu penerima dana BLBI saat krisis moneter melanda Indonesia. Nilainya mencapai Rp 47,2 triliun.
Baca: Syafruddin Tumenggung Tersangka BLBI, Sjamsul Nursalim Dibidik
Pada April 2004, Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Tumenggung menerbitkan surat keterangan lunas (SKL) untuk Sjamsul. KPK menetapkan Syafruddin sebagai tersangka kasus BLBI dan mencegahnya ke luar negeri. Ia diduga menyalahgunakan wewenang sebagai penyelenggara negara.
ARKHELAUS WISNU