TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi lembaga swadaya masyarakat mendesak Indonesia keluar dari Asian Development Bank (ADB) yang sudah beroperasi selama 50 tahun.
“Selama setengah abad, banyak persoalan di masyarakat yang justru disebabkan oleh proyek-proyek yang didanai ADB," ujar Manajer Kampanye untuk Keadilan Ekonomi Walhi, Yuyun Harmono di Jakarta, Minggu 7 Mei 2017.
Baca juga:
Sri Mulyani Ingin ADB Responsif terhadap Kebutuhan Negara Anggota
ADB Siapkan Dana 4,2 Miliar Dolar AS untuk Air Asia Pasifik
Tergabung dalam koalisasi itu adalah Walhi, Solidaritas Perempuan, Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air (KRuHA), debtWATCH Indonesia, dan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam).
Mereka menggelar konferensi pers di kantor Walhi, Jakarta untuk merespon acara 50 tahun pertemuan tahunan Dewan Gubernur ADB di Yokohama, Jepang pada 4-7 Mei 2017. Dalam pertemuan di Jepang itu, Indonesia diwakili Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Koalisi LSM itu menuturkan sejumlah alasan agar Indonesia keluar dari Bank Pembangunan Asia (ADB). Pertama, gelontoran dana ADB senilai 250 miliar dolar AS di Asia Pasifik telah mendorong model pembangunan yang melanggar hak asasi manusia (HAM) dan merusak lingkungan.
Kedua, kata Yuyun, ADB masih mendukung penggunaan energi tak terbarukan berupa batubara pada 21 proyek senilai 3,9 miliar dolar AS. Alih-alih menghentikan kebijakan tak ramah lingkungan, “ADB malah mempromosikan teknologi carbon capture and storage (CCS) untuk diterapkan di Indonesia tahun 2020.”
Ketiga, pemerintah Indonesia dinilai tidak berpihak pemerintah terhadap rakyat yang terdampak proyek-proyek yang didanai ADB.
Puspa Dewy dari Solidaritas Perempuan merujuk pada pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani di pertemuan ADB di Yokohama. Sri Mulyani berharap agar ADB lebih responsif terhadap kebutuhan negara-negara anggotanya, seperti Indonesia.
"Pernyataan Menteri Keuangan tersebut mengindikasikan pemerintah terhegemoni ADB dan mengabaikan tanggung jawab melindungi rakyat. Dampak intervensi ADB, rakyat digusur dan dan dirampas tanahnya akibat proyek," ujar Dewy.
Diana Gultom dari debtWATCH Indonesia mendesak audit sosial dan lingkungan dari proyek yang didanai ADB.
"Harus ada tanggung jawab setimpal atas dampak akumulatif yang terjadi," ucapnya. Audit ini, menurut Diana, juga bisa menjadi argumen utama keluarnya Indonesia dari ADB.
Diana memaparkan contoh sistem Subak di Bali yang memperoleh penghargaan UNESCO tahun 2012. ADB dan lembaga keuangan internasional lain terlibat aktif dalam revolusi hijau pada tahun 1980-an.
Mereka menyarankan penggunaan varietas padi tertentu dan pemakaian pestisida secara massif. Memang, terjadi peningkatan produksi padi dan Indonesia mengalami swadaya beras.
Revolusi hijau itu membawa dampak terhadap petani dan lingkungan. Sistem pertanian tradisonal, seperti Subak di Bali, hancur. Selain itu terjadi kerusakan lahan pertanian. Dalam laporan tahun 1992, ADB mengakui kekeliruan pendekatannya.
Kelima, salah satu praktik ADB yang paling dikritisi masyarakat sipil di Indonesia adalah keharusan untuk menggunakan country safeguard system (CSS) sebagai syarat berutang kepada ADB.
Sayangnya, selama ini CSS dikaji dan dievaluasi tanpa adanya konsultasi publik. ADB cenderung lepas tangan pada pertanggungjawaban dana di lapangan, termasuk jika terjadi perampasan tanah dengan menggunakan kekerasan. Keterbukaan ADB pun dipertanyakan dengan sering tak lengkapnya dokumen kajian di laman resminya.
Koalisi LSM menilai dengan ketergantungan Indonesia pada piutang ADB, hak dasar rakyat tidak bisa dimaksimalkan karena anggaran pemerintah untuk membayar utang tiap tahun lebih besar.
Yuyun memaparkan, bagi Walhi sendiri masalah utama kerja sama Indonesia dengan ADB terletak pada proses pengambilan keputusannya yang menguntungkan negara pemegang saham.
"Di ADB, keputusan dikendalikan pemegang saham terbesar. Daya voting Jepang terbesar, disusul Amerika Serikat dan Cina. Ini jadi business-as-usual," jelasnya. Ia mencatat dari berdirinya ADB tahun 1966, ada lebih dari 5.000 proyek yang disokong Jepang.
Walhi menilai selama 50 tahun berjalannya ADB banyak perubahan kebijakan yang didorong ADB didasari pengaruh kepentingan korporasi para pemegang saham, yang mana terdiri dari 67 negara dengan bermacam itikad.
Keanggotaan Indonesia di ADB, tutur Yuyun, perlu dikritisi dari proporsional tidaknya utang terhadap peningkatan taraf hidup masyarakat.
Dalam pantauan debtWATCH, tingkat ketimpangan di Indonesia masih tinggi sekalipun dana pinjaman ADB terus mengalir.
"Malah yang terjadi sekarang adalah ADB mengambil komposisi anggaran Indonesia begitu besar, karena pinjaman terbesar berasal dari ADB, selain dari Bank Dunia dan piutang bilateral Jepang," jelas Diana.
Komposisi APBN untuk membayar utang ADB ia nilai sangat besar, sementara aktivitas ADB di Indonesia hanya sedikit yang dapat termonitor masyarakat sipil.
Ia berujar, desakan masyarakat sipil kepada pemerintah Indonesia ini sengaja mengambil momen ulang tahun ADB.
"Sebelum Joko Widodo menjadi presiden, ia sempat menyatakan akan melepaskan ketergantungan terhadap utang luar negeri. Ini salah satu momen untuk mengingatkan Bapak Presiden pada komitmennya," ucap Diana.
Simak juga:
ADB: Indonesia Sudah Masuk Kelompok Middle Income
Dorong Pertumbuhan Berkelanjutan, ADB Sarankan Sejumlah Hal
ADB yang berpusat di Manila, Filipina, didirikan sejak 1966. Lembaga keuangan internasional ini bertujuan mengurangi kemiskinan di Asia Pasifik melalui pertumbuhan ekonomi yang inklusif.
Organisasi ini dimiliki negara pemegang saham dari 67 negara, dimana 48 di antaranya berasal dari Asia dan Pasifik. ADB tercatat menggelontorkan bantuan 31,7 miliar dolar AS untuk pengentasan kemiskinan pada 2016.
AGHNIADI | UWD