TEMPO.CO, Jakarta – Pemerintah sedang mempertimbangkan berbagai wacana yang bergulir dalam pembahasan revisi Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilihan Umum. Salah satu wacana yang berkembang adalah soal honor bagi saksi di hari pencoblosan pemilu.
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengatakan ada permintaan pemberian honor saksi dibebankan kepada anggaran pemerintah. “Saya hitung satu putaran bisa Rp 10 triliun sampai Rp 15 triliun,” ucap Tjahjo di Jakarta, Kamis, 4 Mei 2017. Menurut dia, seorang saksi setidaknya mendapatkan honor sebesar Rp 300 ribu.
Baca juga: RUU Pemilu Molor, Ini Penyebab Istana Yakin Selesai Last Minute
Meski demikian, Tjahjo menambahkan, angka itu bisa bertambah bila pemilu berlangsung dua putaran. Karena itu, pemerintah saat ini masih menampung usul itu. “Nantilah solusi yang terbaik bagaimana,” katanya.
Sebelumnya, parlemen mengusulkan pemberian honor saksi pemilu diambil dari APBN. Parlemen beralasan bila saksi yang dibiayai pemerintah bisa lebih serius untuk mengawasi pelaksanaan pemilu. Setidaknya ada sekitar 570 ribu tempat pemungutan suara dalam penyelenggaraan pemilu.
Baca: Menteri Tjahjo Sebut 5 Masalah Ini Membuat RUU Pemilu Molor
Selain soal honor bagi saksi, pembahasan RUU Pemilu masih berkutat pada soal parliamentary threshold atau ambang batas perolehan suara minimal partai politik. Pemerintah, ucap Tjahjo, ingin ambang batas meningkat di setiap penyelenggaraan pemilu. Dalam hal ini sikap parlemen terbelah. “Ada yang ingin tetap 3,5 persen. Ada juga partai yang ingin tambah di atas 5 persen,” tuturnya.
Menanggapi ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden, Menteri Tjahjo menyatakan keinginan partai yang mematok di angka nol persen dianggap tidak adil. Ia beralasan partai harus mendapatkan ujian lebih dulu dengan dilihat dari jumlah pemilih yang didapatnya. “Ujian partai harus punya legitimasi diakui masyarakat,” ucapnya.
ADITYA BUDIMAN