TEMPO.CO, Jakarta - Wahid Foundation mengimbau semua kalangan terutama warga Jawa barat untuk mengantisipasi derasnya hate speech dan politisasi agama pada Pilkada Jawa Barat pada 2018 mendatang.
Sebab kampanye menggunakan motif keagamaan yang digunakan dalam pilkada DKI berpotensi besar digunakan kembali pada Pilkada Jawa Barat 2018 mendatang.
Menurut Rais Syuriah PBNU Masdar Farid Mas’udi, kampanye menggunakan agama sebagai cara kampanye sangat berbahaya terhadap keberagamaan dan kebersamaan.
Baca : Toleransi Warga Jawa Barat Akan Diuji dalam Pilkada 2018
“Janganlah kampanye menggunakan agama di ruang politik. Itu destruktif, merusak sekali. Tidak pantas,” ujar Masdar di Swiss-Bell Hotel, Jakarta, Rabu, 3 Mei 2017.
Menurut dia, meski kampanye menggunakan agama disebut cara yang paling “murah”, namun kampanye itu sangat berbahaya. Dampak dari kampanye dengan membenturkan agama dapat menyebabkan terjadinya benturan sosial.
Baca Juga:
Jika diulang-ulang dalam jangka waktu yang panjang, kampanye ini dapat mengancam keamanan negara. “Bisa rontok negara ini jika diterus-teruskan,” kata dia.
Simak : Persekutuan Geraja Kirim Surat Jokowi Soal Suhu Politik, Isinya...
Peneliti Senior Wahid Foundation yang juga merupakan anggota Ombudsman Indonesia Ahmad Suaedy mengungkapkan hal senada. Ia percaya bahwa kebersamaan dan toleransi warga Jawa Barat akan diuji dalam Pilkada Jawa Barat mendatang, terutama jika partai politik masih menggunakan motif keagamaan daalam prosesi kampanye sebagaimana yang terjadi pada pilkada DKI Jakarta.
Ia tak memungkiri bahwa efektivitas kampanye bermotif agama ini cukup tinggi, mengingat keberhasilannya pada pilkada DKI Jakarta. Namun ia mengingatkan adanya ancaman perpecahan yang berpotensi tejadi.
“Perpecahan antara agama dan kelompok keagamaan yang terjadi di Jakarta juga bisa terjadi di Jawa Barat ketika Pilkada nanti,” ujar Suaedy.
Lihat juga : Kementerian PMK dan PBNU Jalin Kerja Sama Tangkal Radikalisme
Berkaca dari Pilkada DKI Jakarta dari tiga periode terakhir, Suaedy menunjukkan adanya peningkatan kasus intoleransi di Indonesia. Hal yang paling terasa menjadi pembeda antara Pilkada kali ini dengan Pilkada sebelumnya adalah tingkat kerasnya konflik yang dihasilkan selama Pilkada berlangsung.
“Dalam Pilkada DKI 2017 kerusakan yang ditimbulkan oleh kampanye agama atau sektarianisme lebih dahsyat, sebab sampai merusak mekanisme sosial masyarakat,” jelas Suaedy. Dia mencontohkan masjid dan musalla yang dalam konteks sosial menjadi intrumen sosial untuk pemersatu masyarakat, dalam Pilkada menjadi ajang kampanye negatif yang merusak komponen kemasyarakatan hingga level paling rendah.
DESTRIANITA