TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah kalangan mempertanyakan apakah langkah partai politik penolak hak angket KPK atau Komisi Pemberantasan Korupsi konsisten dengan sikapnya. “Jangan-jangan hanya sebagai pencitraan demi agenda politik,” ujar pengamat politik dari Universitas Pelita Harapan, Emrus Sihombing, ketika dihubungi kemarin.
Emrus mencurigai langkah penolakan itu sekadar pencitraan demi mendulang suara yang berujung kekuasaan. Apalagi pada 2018 ada agenda politik pemilihan kepala daerah di 171 daerah, dan tahun berikutnya merupakan pemilihan legislatif serta pemilihan presiden yang diadakan serentak. Selain itu, Emrus mengatakan, partai terkesan bermain di dua pihak karena, meskipun menolak, ada kadernya yang menjadi salah satu inisiator hak angket.
Baca juga:
Bambang Widjojanto Tunjukkan Kasus-kasus Layak Hak Angket DPR
Polemik Hak Angket, Bambang Widjojanto: KPK Diincar Sakaratul Maut
Hingga saat ini ada empat partai menolak hak angket, yakni Partai Gerindra, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Amanat Nasional (PAN). Namun ada kader dari empat partai itu yang meneken tanda tangan sebagai inisiator hak angket, yakni Desmond Junaidi Mahesa dari Gerindra, Fahri Hamzah dari PKS, Rohani Vanath dari PKS, dan Daeng Muhammad dari PAN.
Hak angket pun telah disetujui dalam rapat paripurna pada Jumat pekan lalu melalui sidang yang ricuh. Musababnya, pemimpin sidang, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah, langsung mengetuk palu menandai disetujuinya hak angket pada saat penuh interupsi. Di antaranya, Fraksi Gerindra, yang mengajukan interupsi dengan maju ke depan podium ketua sidang.
Baca pula:
Usulan Hak Angket KPK, Mayoritas Fraksi di DPR Menolak
Hak Angket ke KPK, Fahri Hamzah: Untuk Mengungkap Kebenaran
Peneliti dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia, Lucius Karus, mengatakan seharusnya partai penolak itu berjuang habis-habisan dalam sidang paripurna. Sebab, kata dia, suatu keputusan harus mendapat persetujuan lebih dari setengah anggota yang hadir. “Tapi, saat sidang, penolakan hanya sebentar dan tetap berlanjut hingga akhir,” ujarnya. “Yang disajikan adalah untuk kepentingan partai semata.”
Adapun pengamat hukum tata negara Refly Harun menilai hasil rapat ilegal karena Fahri memutuskan secara sepihak. Fahri menampik tudingan bahwa hasil rapat ilegal. “Sudah sah, dan argumen silakan disampaikan saat rapat Panitia Khusus,” ujar Fahri. Setelah hak angket, DPR akan membentuk panitia khusus beranggotakan 30 orang dari seluruh fraksi.
AHMAD FAIZ | AVIT HIDAYAT