TEMPO.CO, Denpasar - Irama baleganjur, musik tradisional khas Bali mengiringi perjalanan aksi massa ratusan orang memperingati Hari Buruh 2017. Massa aksi tergabung dalam Aliansi Buruh Bali Bersatu.
Mereka terdiri atas Federasi Serikat Pekerja Mandiri (FSPM) Bali, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali, Front Mahasiswa Nasional (FMN) Denpasar, Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Denpasar.
Baca juga:
May Day, Pesan Jusuf Kalla di Hari Buruh 2017
Massa aksi menggelar aksi longmarch mengelilingi lapangan Niti Mandala Renon, Denpasar. Mereka memusatkan aksi di depan kantor Gubernur Bali. Koordinator aksi Ida I Dewa Made Rai Budi Darsana dalam orasinya menentang kebijakan pengupahan rezim Joko Widodo dan Jusuf Kalla.
"Kami menuntut pencabutan PP 78 tahun 2015 tentang pengupahan. Skema politik upah murah kelas pekerja buruh, padahal harga kebutuhan pokok semakin tinggi," katanya, Senin, 1 Mei 2017.
Baca pula:
Hari Buruh, AJI Makassar Dorong Perda Perlindungan Jurnalis
Ia menjelaskan dalam PP 78 tahun 2015 upah setiap tahun hanya berdasarkan dua indikator saja, yaitu pertumbuhan ekonomi dan laju inflasi. Rezim Presiden Joko Widodo, ujar dia, tidak mampu mensejahterakan kehidupan buruh di Indonesia.
"Jelas kami kecewa, karena dari rezim ke rezim itu sama saja. Sistem kerja kontrak dan outsourching semakin marak, dan sebenarnya masih banyak pekerja kita yang dibayar di bawah upah minimum," ujarnya. Ia menambahkan PP 78 tahun 2015 cenderung menggembosi gerakan-gerakan buruh di Indonesia.
Silakan baca:
Hari Buruh, Aksi di Yogyakarta Meniru Semangat Sultan Agung
Budi menuturkan bila ditinjau pada 2015 perubahan upah nasional masih 18,6 persen. Kemudian, turun menjadi 11,5 persen pada 2016. "Hanya naik 8,25 persen pada 2017," tuturnya.
Ketua AJI Denpasar Hari Puspita mengatakan setiap tahun berjuang dalam peringatan Hari Buruh, namun tetap saja hak-hak buruh sulit terpenuhi. "Energi kita sangat dibutuhkan untuk itu. Perjuangan ada di setiap sektor perusahaan, termasuk perusahaan media," katanya.
Menurut dia selama hak jurnalis tidak terpenuhi, maka berimbas terhadap independensi yang sulit dicapai. "Jurnalis juga buruh. Kesaksian kita hari ini, di negeri ini adanya pengingkaran hak-hak buruh di semua sektor," tuturnya.
Hari menambahkan ihwal kesejahteraan pekerja media yang merosot justru berasal dari internal perusahaan. "Sekarang dalam kondisi yang sulit manajemen ekonomi media, tapi hak standar itu harus tetap diupayakan," ucapnya.
Adapun Haerul Umam dari LBH Bali saat orasi menekankan bahwa rezim Joko Widodo tidak berpihak kepada buruh. "Kebijakan yang dikeluarkan Jokowi hanya untuk melindungi pengusaha. Kawan-kawan buruh upahnya hanya naik, 8,25 persen, itu tidak ada apa-apanya dengan kebutuhan hidup," katanya.
Aksi teatrikal dan pembacaan puisi dari FMN (Front Mahasiswa Nasional) Denpasar tentang penindasan buruh di Indonesia mewarnai unjuk rasa. Selain itu, mereka juga menyanyikan lagu berjudul Darah Juang, lagu yang populer dalam gerakan meruntuhkan rezim Soeharto. Para massa aksi sempat menari bersama diiringi musik tradisional Bali sebelum meninggalkan lokasi unjuk rasa.
BRAM SETIAWAN