TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi untuk Hapus Hukuman Mati (Koalisi HATI) yang terdiri dari sejumlah lembaga masyarakat sipil di Indonesia meminta pemerintah bersikap terbuka dalam sidang Universal Periodic Review (UPR) yang dilakukan Dewan HAM Perserikatan Bangsa-bangsa. Mekanisme evaluasi secara periodik mengenai promosi dan proteksi hak asasi manusia itu akan diadakan di Jenewa, Swiss, pada 3-5 Mei nanti.
"Kami minta pemerintah transparan dan akuntabel dalam setiap putusan yang diambil dalam UPR 2017," ujar Peneliti Imparsial, Ardi Manto, yang menjadi bagian dari koalisi, saat jumpa pers di Hotel Ibis Tamarin, Gondangdia, Jakarta, Kamis, 27 April 2017.
Indonesia menjalani evaluasi berkala itu pada 2008 dan 2012. Tahun ini merupakan evaluasi ketiga atas penegakan HAM di Indonesia. Penerapan hukuman mati, menurut Ardi, menjadi isu yang paling banyak menuai kritik oleh pemerintah Indonesia.
Koalisi HATI, dalam hal ini mencatat sejumlah masalah umum terkait isu tersebut. "Pidana mati di Indonesia masih diberlakukan di tengah sistem peradilan pidana yang tidak adil," ujar Ardi.
Koalisi menganggap pemerintah Indonesia membatasi kesempatan para narapidana vonis mati yang mengajukan peninjauan kembali. Sanksi pidana mati, kata dia, masih diberlakukan terhadap kelompok rentan, seperti pada penderita gangguan kejiwaan dan anak di bawah umur.
Sejumlah instrumen internasional dan Undang-undang nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak melarang penjatuhan hukuman mati pada anak di bawah usia 18 tahun. "Nyatanya Pengadilan Negeri Gunungsitoli tetap menjatuhkan pidana mati pada Yusman Telaunbanua, padahal saat itu usianya 16 tahun," Ardi mencontohkan.
Koalisi HATI mengkritik ketentuan pidana mati dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana tahun 2015 yang tengah dibahas oleh Komisi Hukum DPR. Rancangan itu disebut bertentangan dengan ketentuan HAM internasional.
"Penundaan eksekusi mati hingga 10 tahun merupakan bentuk penyiksaan. Selain itu, penggolongan jenis-jenis kejahatan yang dapat dijatuhi pidana mati bertentangan dengan standar norma HAM internasional," kata dia.
Ketua Badan Pengurus Nasional Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia Totok Yulianto berjanji mengawal hasil UPR 2017. Tindaklanjut dari UPR, kata dia, berujung pada pembuatan rekomendasi. "Mekanismenya, ketika dapat saran (rekomendasi) dari Dewan HAM PBB, pemerintah bisa setuju atau tak setuju," tutur dia.
Pada review kedua 2012 silam, menurut Totok, Indonesia menolak rekomendasi penghentian hukuman mati. Penolakan itu dianggap tanpa didukung oleh data dan alasan yang jelas.
"Kali ini harus ada argumentasi dan data jelas, harus transparan," kata dia. "Harus bisa dipertanggungjawabkan kenapa menerima (rekomendasi) atau kenapa menolak."
Direktur HAM dan Kemanusiaan Kementerian Luar Negeri, Dicky Komar sebelumnya mengatakan bahwa Indonesia akan memaparkan implementasi 150 poin rekomendasi yang diterima, pada 2012.
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly akan memimpin delegasi Indonesia mengenai tantangan promosi dan proteksi HAM di Indonesia, serta upaya untuk mengatasinya.
"Prinsip yang Indonesia majukan dalam pelaporan ini adalah adanya upaya pemajuan dan perlindungan HAM bersifat implementasi progresif, yang memungkinkan kemajuan kesinambungan dan penanganan tantangan," ujar Dicky di Gedung Kementerian Luar Negeri pada 21 April lalu.
YOHANES PASKALIS