TEMPO.CO, Jakarta - Raden Ajeng Kartini dikenal dengan surat-suratnya. Surat itu dia tulis untuk sahabat korespondensinya, Nyonya Rosa Abendanon-Mandri, istri Direktur Pendidikan, Agama, dan Industri Hindia Belanda. Dalam surat bertarikh 27 Oktober 1902, Kartini berapi-api menuliskan pikiran dan perasaannya. Bahkan, Kartini juga menulis hal-hal yang kontroversial seperti soal yang intim dan minoritas Cina. Surat itu sampai disensor oleh Abendanon tak diterbitkan.
Surat itu ditulis Kartini ketika ia berumur 23 tahun. Lahir di Jepara pada 21 April 1879, Kartini hanya lulus sekolah rendah Eropa atau Europeesche Lagere School. Ide, pikiran, dan kecerdasannya terbangun oleh ayah yang sangat ia sayangi, yang membebaskannya dengan pendidikan di rumah dan pengenalan pada alam pikiran Eropa. Kecerdasan ini kian terasah ketika ia berkorespondensi dengan banyak orang Belanda, seperti suami-istri Abendanon itu.
Oleh Abendanon, surat-surat itu kemudian dikumpulkan. Tak kurang dari 115 buah banyaknya. Surat itu diterbitkan dalam judul Door Duisternis Tot Licht pada 1911, tujuh tahun setelah Kartini meninggal. Secara harfiah, kalimat Belanda itu berarti "Dari Kegelapan Menuju Cahaya". Penerbit Balai Pustaka pada 1922 menerjemahkannya menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang.
Baca juga, Kartini: Saya Adalah Anak Buddha
Tapi rupanya Abendanon menyensor surat-surat itu. Surat bernada sangat personal ditanggalkan. Juga kecaman Kartini terhadap kebijakan pemerintah Belanda dalam memonopoli candu di Jawa serta kritiknya atas kepindahan seorang residen dari Jepara karena Jepara dianggap sudah aman dan sejahtera.
Surat tentang dia adalah "anak Buddha" dan soal kekagumannya pada Kelenteng di Welahan salah satu yang disortir. Sejarawan Yayasan Nabil, Didi Kwartanada, menduga sensor tersebut berkaitan dengan situasi sosial-politik di Jawa saat penerbitan surat-surat itu. Orang Tionghoa waktu itu hanya dijadikan perisai oleh Belanda terhadap kemarahan pribumi dan sebagai kambing hitam kesalahan birokrasi. "Dalam ilmu sejarah, etnis Tionghoa itu diposisikan sebagai minoritas antara, middlemen minority," kata Didi kepada Tempo edisi Laporan Khusus Kartini.
Padahal setidaknya ada dua surat Kartini yang bercerita tentang etnis ini, aksi-aksi filantropis, dan empati kepada mereka. Ia bahkan tak segan menyebut diri "anak Buddha" karena sudah meminum air shio saat sakit itu. "Ketahuilah, Nyonya," tulisnya kepada Abendanon, "bahwa saya anak Buddha, dan itu sudah menjadi alasan mengapa saya tak makan daging." Seperti nada dalam seluruh surat, kalimat Kartini terasa tulus, tanpa pretensi dan motif ketika bercerita tentang apa saja.
Pada 1987, Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV) menerbitkan surat-surat lengkap Kartini dengan judul Kartini: Brieven aan Mevrouw R.M. Abendanon-Mandri en Haar Echtgenoot. Total ada 150 korespondensi. Selain surat Kartini, surat adik dan ayahnya juga disertakan. Sulastin Sutrisno, guru besar sastra Universitas Gadjah Mada yang menerjemahkan surat-surat itu, melihat satu kotak besar surat lengkap Kartini ketika berkunjung ke KITLV di Leiden, Belanda.
Baca juga: Hari Kartini: Perempuan di Sarang Anak Buah Kapal
Dua tahun kemudian, terjemahan Indonesianya terbit. Dalam buku itu terkuak alasan Abendanon menyeleksi surat Kartini. Rupanya, ada beberapa surat yang dikategorikannya sebagai "intim" dan "sangat intim" sehingga tak layak dibaca khalayak. Beberapa surat juga disobek di bagian tertentu. Padahal surat itu penting karena tak hanya menyuarakan soal feminisme, seperti yang dikenal banyak orang.
TIM TEMPO