TEMPO.CO, Yogyakarta - Laksono Trisnantoro cemas karena pemerintah akhirnya bersedia membahas Rancangan Undang-Undang Pertembakauan. Peneliti senior Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta itu berpikir aturan tentang rokok di Indonesia akan berubah jika RUU Pertembakauan dibahas dan menjadi Undang-Undang, termasuk di kampus UGM tempat ia mengajar.
Doktor lulusan London School of Hygiene and Tropical Medicine itu risau karena secara institusi UGM menerima sponsor dari perusahaan rokok. Dokter yang pernah mengambil studi tambahan di Harvard Medical School, Department of Social Medicine, Boston itu merupakan pengkritik keras kebijakan kampus UGM, yang menurut dia lembek terhadap industri rokok.
Ia memprotes sebagian fakultas di UGM yang menurut dia tak berpikir panjang ketika menerima sponsor rokok meskipun itu melalui Djarum Foundation, yayasan yang dibentuk kelompok usaha Djarum, salah satu perusahaan rokok terbesar di tanah air. Menurut dia, para pengelola, termasuk pengajar di Fakultas Ekonomika dan Bisnis mestinya berpikir jangka panjang soal dampak rokok bagi kesehatan jangka panjang. “Standar etik UGM tidak jelas. Mengapa tidak dipikirkan beban biaya kesehatan lima hingga sepuluh tahun mendatang yang harus dipikul masyarakat,” kata dia kepada Tempo, akhir Maret 2017.
Kecemasan Laksono ini ada landasannya. Ia merujuk pada sejumlah kegiatan di kampus UGM yang disponsori industri rokok. Tahun 2011-2012, UGM bekerja sama dengan Djarum Foundation membangun auditorium dan fasililitas lain di Gedung Pertamina Tower Fakultas Ekonomika dan Bisnis senilai Rp 44,3 miliar. Auditorium itu dilengkapi dengan fasilitas teleconference.
Djarum juga menggelontorkan bantuan renovasi gedung perpustakaan digital untuk Fakultas Teknik senilai Rp 1,2 miliar pada tahun yang sama. Perpustakaan yang kini menjadi tempat nongkrong mahasiswa itu juga memiliki ruang untuk video conference. Ada pula beasiswa dari Djarum untuk mahasiswa. Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM juga menyiapkan naskah akademik RUU Pertembakauan yang kemudian menjadi usulan Dewan Perwakilan Rakyat.
Peraturan rektor
Sejumlah kegiatan yang disponsori perusahaan rokok tadi bagi Laksono Trisnantoro kontras dengan peraturan Rektor UGM. Larangan menerima sponsor itu diatur dalam Keputusan Rektor Nomor 77/PII/SK/HT/2005 pasal 9 ayat 3. Bunyinya bagi kegiatan yang diselenggarakan oleh pihak luar UGM yang telah mendapat izin resmi dari pimpinan universitas, tetap diberlakukan pelarangan sarana iklan atau sponsorship seluruh produk rokok dan produk minuman yang mengandung alkohol. UGM juga mengeluarkan Peraturan Rektor Nomor 29/P/SK/HT/2008 tanggal 2 Januari 2008 yang berisi tentang kawasan bebas rokok.
Masuknya sponsor rokok dalam sejumlah kegiatan di UGM juga mengakibatkan dua kubu yang saling bertentangan di internal kampus yang menyatakan diri sebagai kampus rakyat ini. Kubu pertama menolak segala jenis sponsor yang berbau rokok. Kubu ini di antaranya diwakili Fakultas Kedokteran UGM. Kubu satunya lagi adalah penerima sponsor rokok yang tulang punggungnya adalah Fakultas Ekonomika dan Bisnis.
Para pengajar di Fakultas Kedokteran UGM mengecam Fakultas Ekonomika dan Bisnis yang menerima sponsor industri rokok. Fakultas Kedokteran pernah menginisiasi petisi menolak RUU Pertembakauan sebelum digodok oleh DPR sebagai usulan parlemen. Koordinator Quit Tobacco Indonesia Fakultas Kedokteran (FK) UGM, Yayi Suryo Prabandari pada 2012 keras mengingatkan rektorat UGM agar bersikap tegas menolak industri rokok. “Kami malu, di mata internasional UGM dianggap pro-tembakau,” kata Yayi.
Sikap keras Fakultas Kedokteran menolak rokok juga terlihat pada beasiswa dari Djarum. Fakultas Kedokteran menolak sama sekali bantuan beasiswa itu meskipun kebijakan itu diputuskan di tingkat rektorat.
Sedangkan Dekan Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Eko Suwardi berdalih fakultasnya tidak melanggar peraturan rektor. Menurut dia, bantuan pendidikan itu masuk melalui Djarum Foundation bukan langsung dari pabrik rokok. Menurut dia, Djarum Foundation menghimpun dana dari banyak sumber, bukan sekadar dari Djarum. Alibi Eko yang lainnya, fakultasnya tidak mempromosikan orang untuk merokok. “Bantuan Djarum Foundation kan untuk pendidikan yang bermanfaat,” katanya.
Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan UGM, Iwan Dwiprahasto, menyatakan sejak awal Fakultas Kedokteran getol menolak semua hal yang berbau rokok. Rektorat UGM, kata dia memandang sepanjang bantuan itu tidak terkait langsung dengan bisnis rokok, maka bantuan dari Djarum Foundation dan foundation lain yang sejenis bisa diterima.
Alasannya, Djarum Foundation dan foundation lain yang sejenis telah menyatakan terlepas dari bisnis rokok. UGM pernah membikin kajian tentang bantuan dari foundation, yang namanya terkait dengan merk rokok. “Sepanjang yang memberikan sumbangan itu foundation, meski itu menyerempet rokok bukan bagian dari rokok. Jadi boleh,” kata Iwan.
Auditorium mahal
Auditorium mewah bertuliskan Bakti Pendidikan Djarum Foundation menghias bangunan Universitas Gadjah Mada. Di depan tulisan itu, hanya berjarak tiga langkah kaki terdapat tulisan 'thank you for not smoking' dan gambar sebatang rokok berasap yang bertanda stop warna merah.
Auditorium kebanggaan Fakultas Ekonomika dan Bisnisitu dibangun pada 2011-2012 menggunakan duit Djarum Foundation, bagian dari perusahaan rokok Djarum. Djarum Foundation dikenal rajin menghimpun dana-dana tanggungjawab sosial perusahaan atau CSR. Auditorium itu berupa ruangan berwarna merah dan hitam, yang didesain mirip bioskop dengan kursi bertingkat berwarna merah.
Ruangan yang menampung lebih dari 100 orang dan dilengkapi fasilitas teleconference itu menghabiskan duit senilai Rp 44,3 miliar. Dekan Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Eko Suwardi beralasan fasilitas auditorium bantuan Djarum Foundation murni bukan untuk mempromosikan rokok.“Itu untuk pendidikan,” kata Eko.
Di Fakultas Teknik, Djarum Foundation menggelontorkan bantuan renovasi gedung perpustakaan digital tahun senilai Rp 1,2 miliar pada tahun yang sama. Perpustakaan yang kini menjadi tempat nongkrong mahasiswa itu juga memiliki ruang untuk video conference.
Djarum juga memberikan beasiswa kepada 19 mahasiswa UGM tahun 2015/2016. Pada tahun akademik berikutnya Djarum membantu 21 mahasiswa. Pemberian sponsor dari Djarum Foundation itu pernah mendapat protes dari Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Fakultas Teknik. BEM Fakultas Teknik menolak sponsor Djarum Foundation. Ketua Umum BEM saat itu, Yanuar Rizki Pahlevi mengatakan, ketika program Corporate Social Responsibility mensponsori suatu kegiatan, maka CSR tersebut sama saja dengan mengiklankan produk perusahaan. “Djarum Foundation sama saja mengiklankan rokok Djarum,” kata Yanuar.
Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan UGM, Iwan Dwiprahasto, berdalih UGM kurang beruntung ketika itu karena anggaran dari negara mepet. UGM punya kebutuhan untuk mengembangkan fasilitas buat mahasiswanya. “Waktu itu kami tidak mungkin membangun fasilitas teleconference karena anggaran dari negara terbatas,” kata Iwan.
Direktur Program Djarum Foundation, Primadi H Serad dan Corporate Communications Manager at PT Djarum, Budi Darmawan tidak menjawab pertanyaan Tempo perihal sponsor itu. Sebelumnya, dalam siaran pers, Primadi menyatakan Djarum Foundation berupaya mendukung perguruan tinggi di Indonesia untuk meningkatkan mutu pendidikan melalui pemenuhan berbagai fasilitas penunjang. Ia menyatakan itu pada acara pemberian bantuan ke UGM pada Rabu, 29 Februari 2012. “Semoga fasilitas-fasilitas tersebut dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh para mahasiswa di UGM,” kata Primadi.
SHINTA MAHARANI