TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Abdul Haris Semendawai meminta pemerintah segera menyelesaikan persoalan tersendatnya pemenuhan kompensasi bagi korban terorisme.
Menurut dia, sepanjang 2002 hingga 2016, terjadi sekitar 300 aksi teror di Indonesia, dengan jumlah total korban mencapai ribuan. Mereka kini belum memperoleh hak kompensasi seperti yang diamanatkan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Salah satu penyebabnya adalah aturan pemberian kompensasinya belum jelas. "Bagaimana proses pengajuan, pemeriksaan, dan teknis lain dalam peradilan tak diatur," ujar Abdul, Kamis, 6 April 2017.
Baca: ICJR Nilai RUU Terorisme Belum Akomodasi Hak Korban
Berdasarkan aturan, pemberian kompensasi kepada korban terorisme hanya bisa dilakukan jika pengadilan menetapkannya dalam putusan persidangan. Persoalannya, sering kali pengadilan tidak memasukkan hal pemberian kompensasi kepada korban dalam putusan persidangan. Sekalipun hal itu tercantum dalam putusan, pemerintah juga belum memiliki alokasi dana khusus terkait dengan pemberian kompensasi itu. "Ini yang menghambat," kata Abdul.
Salah satu hal yang bisa dilakukan adalah mendorong pemenuhan hak korban terorisme itu masuk ke revisi Undang-Undang Terorisme. "Poin-poin untuk penguatan hak korban kami dorong agar masuk ke revisi," ujarnya.
Baca: Bertemu Perwakilan Rusia, Wiranto Mengaku Bahas Soal Teroris
Revisi Undang-Undang Terorisme masih dalam pembahasan panitia kerja (Panja) di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Anggota Panja Revisi RUU Terorisme, Arsul Sani, mengatakan Panja telah membahas sekitar 60 daftar inventarisasi masalah dari sekitar 112 poin DIM yang diajukan pemerintah. Namun pembahasan hak-hak korban belum sampai. “Soal itu (hak korban) belum sampai,” katanya.
Iwan Setiawan, salah satu korban aksi teror bom Kuningan yang terjadi pada 2004, mengatakan hingga kini dia belum menerima dana kompensasi. Iwan, yang mengalami cedera pada mata kanannya, sempat dirawat selama satu bulan di Rumah Sakit Mata Aini, Kuningan, Jakarta Selatan. Namun bantuan dari pemerintah hanya datang selama dua pekan. Bantuan pengobatan selebihnya justru ia peroleh dari Kedutaan Besar Australia. "Bantuan datang dari Kedubes lewat yayasan," katanya, Kamis.
Baca: Pansus RUU Terorisme Akan Fokus pada Tiga Hal Ini
Hal yang sama juga diungkapkan Sri Hesti, ibu dari korban teror bom Hotel JW Marriot, Rudi Dwi Laksono. Menurut dia, hingga sekarang dia belum pernah mendapat hak kompensasi berupa ganti rugi dari pemerintah. "Kami cuma pernah mendapat dana dari pihak hotel," ucapnya.
Sri pernah mencoba mendapatkan haknya. Namun upaya itu tak kunjung berhasil karena terhambat persoalan birokrasi. "Saya tak tahu itu siapa yang bisa buat," katanya.
NINIS CHAIRUNNISA