TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa 6 saksi dalam penyidikan dugaan tindak pidana korupsi proyek e-KTP atau Kartu Tanda Penduduk berbasis Nomor Induk Kependudukan secara nasional tahun 2011-2012 di Kementerian Dalam Negeri.
"Enam saksi itu diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Andi Agustinus (AA)," kata juru bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Kamis, 6 April 2017.
Baca juga: Kasus E-KTP, Pengancam Miryam Masuk Dakwaan
Enam saksi yang diperiksa itu adalah Dwidharma Priyasta, Pegawai Negeri Sipil Perekayasa Madya IVA Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT); Munawar Ahmad, Dosen Tetap Institut Teknologi Bandung (ITB); dan Gembong Satrio Wibowanto, Staf Peneliti Pengembangan dan Rekayasa Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi BPPT .
Selanjutnya Tri Sampurno, Pegawai Negeri Sipil BPPT; FX Garmaya Sabarling, Pegawai Negeri Sipil Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri; dan Husni Fahmi, Staf Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi BPPT .
Nama Husni Fahmi, FX Garmaya Sabarling, dan Tri Sampurno, disebut berulang-ulang dalam surat dakwaan terhadap Irman dan Sugiharto. Husni Fahmi adalah ketua tim teknis dalam proses pengadaan barang/jasa proyek e-KTP. Dia disebut bertemu dan mengadakan rapat dengan Andi Agustinus alias Andi Narogong. Husni dan 5 anggota tim teknis juga disebut-sebut menerima aliran duit.
Simak pula: Sidang E-KTP, Setya Novanto: Saya Tak Kenal Dekat Andi Narogong
Dalam kasus ini, selain dua terdakwa yakni mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Irman dan Pejabat Pembuat Komitmen Sugiharto, KPK juga telah menetapkan Andi Narogong dan mantan Anggota Komisi II DPR RI 2009-2014 Fraksi Partai Hanura Miryam S. Haryani sebagai tersangka.
Andi disangkakan Pasal 2 ayat (1) atas pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun dan denda paling banyak Rp 1 miliar.
Sementara Miryam disangkakan melanggar Pasal 22 juncto Pasal 35 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Pasal itu mengatur mengenai orang yang sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar dengan ancaman pidana paling lama 12 tahun dan denda paling banyak Rp 600 juta.
Lihat juga: Sidang E-KTP, Anas: Daun Jambu Aja Enggak Ada, Apalagi Uang
ANTARA