TEMPO.CO, Ponorogo - Puluhan siswa sekolah dasar Banaran, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, terlihat asyik belajar di teras Masjid Jami di Dusun Krajan. Kegiatan belajar bagi siswa SD Negeri 1 Banaran, Kecamatan Pulung, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, itu terpaksa dipindah dari gedung sekolah akibat bencana tanah longsor yang terjadi pada Sabtu, 1 April 2017.
Gedung SD Banaran memang berada di jalur rawan longsor susulan. Lokasi sekolah yang memiliki enam ruang kelas dan satu ruang guru tersebut hanya berjarak sekitar 50 meter dari ujung "lidah" longsor, yang telah meluluhlantakkan 35 bangunan rumah dan mengubur 28 warga.
Baca: Longsor Ponorogo, Begini Suka-Duka Tim SAR Pencari Korban
Hingga saat ini, proses pencarian korban masih terus dilakukan. Adapun potensi longsor susulan masih mungkin terjadi mengancam keselamatan penduduk di bawahnya. Terutama di jalur patahan yang berada persis di bawah bangunan SD Banaran.
Di halaman teras masjid yang berukuran 5 x 8 meter tersebut, siswa mengikuti kegiatan belajar-mengajar dengan cara lesehan. Siswa yang terdiri atas siswa kelas 1-6 tersebut mengikuti kegiatan belajar bersamaan dengan pembelajaran yang bersifat hiburan, pelatihan hasta karya, dan beberapa permainan lain yang dipandu beberapa guru.
"Kalau belajar di sekolah dikhawatirkan terjadi longsor susulan," kata seorang guru SD Negeri 1 Banaran, Sudjarsijo, Rabu, 5 April. Menurut dia, kegiatan belajar di masjid mulai berlangsung sejak Selasa, 4 April. Adapun jumlah siswa yang datang hanya sekitar 50 dari total 170 anak. Mayoritas dari mereka masih trauma akibat bencana longsor.
Baca: Korban Longsor Ponorogo Mulai Jemu, Pembangunan Rumah Tertunda
"Ada juga orang tua yang belum mengizinkan anak mereka masuk sekolah karena masih ketakutan," ujar Sudjarsijo.
Sebagian siswa memang merupakan anggota keluarga yang terdampak tanah longsor. Rumah orang tuanya hancur tertimbun material tanah dengan ketebalan 4-20 meter. Anak-anak itu terpaksa tinggal di posko pengungsian bersama anggota keluarganya dan sejumlah warga lain.
Karena itu, Sudjarsijo menuturkan, kegiatan belajar di masjid belum berlangsung secara maksimal. Fasilitas pun tidak memadai, seperti kekurangan bangku untuk duduk. Para siswa mesti lesehan. Kondisi psikologis mereka juga belum pulih total.
"Maka kami berusaha menghibur mereka dulu agar kembali ceria," ucap guru pendidikan agama Islam tersebut.
Seorang siswa, Afif Oktavian, menyatakan dengan kembali bersekolah dapat mengurangi trauma yang dialami. Sebab, ia bisa kembali bermain dan bercanda bersama teman-teman sebayanya. "Seru," ucap siswa kelas IV itu.
Baca: Kenapa Evakuasi Longsor Ponorogo Lebih Sulit dari Banjarnegara
Beberapa siswa yang mengikuti pembelajaran di kelas darurat justru mengaku senang dengan kebijakan sementara sekolahnya. Sebab, lebih banyak menghibur dan berkumpul dengan banyak temannya.
"Ya, senang saja kan bisa bermain bersama, berlatih hasta karya, membuat kerajinan origami dan semacamnya tanpa harus memikirkan pelajaran yang berat-berat," tutur Cheila, salah satu siswi kelas VI, dengan wajah ceria.
Namun Cheila dan beberapa siswa lain menyadari bahwa pembelajaran di kelas darurat berdampak negatif dalam penyerapan pelajaran sekolah sesuai kurikulum yang ditetapkan.
Baca: 4 Desa Terdampak Longsor Ponorogo Kesulitan Air Bersih
"Semoga saja desa kami kembali aman, tenteram, dan dijauhkan dari segala bencana," kata Desca, siswi kelas V, teman Cheila, yang disahut dengan canda ceria siswa-siswi lain di sekitarnya.
NOFIKA DIAN NUGROHO | ANTARA