TEMPO.CO, Jakarta - Ahli hukum tata negara, Saldi Isra, tak mau berandai-andai ihwal terpilih atau tidaknya sebagai hakim Mahkamah Konstitusi menggantikan Patrialis Akbar, yang terkena kasus suap. Setelah menjalani tes wawancara, Saldi memilih menunggu perkembangan selanjutnya. "Kami beri ruang seluas-luasnya kepada pansel (panitia seleksi) mencari orang yang layak," kata Saldi di Sekretariat Negara, Jakarta, Senin, 27 Maret 2017.
Pria asal Solok, Sumatera Barat, itu berharap pansel bisa menemukan sosok hakim yang diharapkan. "Siapa pun yang terpilih nanti tentu harus mau bekerja sama dengan hakim lain memperbaiki Mahkamah Konstitusi," ucap Saldi.
Baca juga:
Seleksi Hakim Mahkamah Konstitusi, Ini Alasan Mantan Kepala PPATK Mundur
Di sisi lain, Saldi mengaku mengikuti proses seleksi tersebut untuk pembelajaran. Ia mengatakan ingin menjadi bagian dari persoalan yang tengah dihadapi Mahkamah, seperti dalam kasus dugaan suap yang melibatkan hakim Patrialis Akbar. "Itu kan tantangan besar, menurut saya, yang harus dibangun bersama," ujarnya.
Saldi bersama empat kandidat lain menjalani tes wawancara terbuka di Sekretariat Negara. Empat calon hakim lain itu ialah Wicipto Setiadi, Muslich, Muhammad Yamin Lubis, dan Mudji Estiningsih. Sedangkan anggota pansel yang ikut terlibat ialah Harjono, Todung Mulya Lubis, Maruarar Siahaan, Sukma Violetta, Komaruddin Hidayat, Ningrum Natasya Sirait, dan Daniel Dhakidae.
Baca pula:
Istana: Panitia Seleksi Hakim MK Akan Libatkan ...
Dalam salah satu sesi wawancara, Saldi mengusulkan para hakim Mahkamah mempunyai tim pendukung. Ia menyebutnya justice office. Alasan dibentuknya tim pendukung adalah agar para hakim mempunyai perspektif yang luas dalam menghadapi persoalan. "Justice office harus menyediakan (apa yang menjadi) keterbatasan hakim," tutur Saldi.
Selain itu, keberadaan justice office bertujuan membantu kinerja hakim. Sebab, kata Saldi, tidak semua hakim memahami persoalan hukum yang dihadapi. "Saya, misalnya, belajar hukum tata negara. Kalau berdebat jauh ke wilayah pidana, saya tidak paham," ucapnya.
ADITYA BUDIMAN