TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Wakil Ketua Komisi II DPR Teguh Juwarno mengatakan tak tahu-menahu soal rapat-rapat pembahasan e-KTP atau kartu tanda penduduk elektronik. Politikus PAN itu beralasan saat rapat besar e-KTP yang berlangsung pada Mei 2010, ia tak hadir karena sakit.
"Saya saat itu sedang sakit karena urat tendon besar kaki saya putus ketika main futsal di DPR, dan operasi besar pada 7 Mei, jadi praktis rapat itu saya tidak pernah ikut," kata Teguh di hadapan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis, 23 Maret 2017.
Baca: Sidang E-KTP, Mantan Pimpinan Komisi II DPR Membantah Terima Uang
Rapat besar yang dimaksud Teguh terjadi pada 5 dan 11 Mei 2010. Pada 5 Mei agendanya adalah rapat kerja dengan Kementerian Dalam Negeri, sedang 11 Mei agendanya rapat dengar pendapat dengan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil.
Menurut Teguh, pada rapat-rapat itu hampir semua anggota Komisi II mendukung proyek e-KTP. Sebab, mereka menilai masyarakat perlu memiliki identitas tunggal demi keamanan. Selain itu, mereka juga ingin mengkondisikan agar daftar pemilih tetap pemilu 2014 jangan sampai berubah.
Jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi mempertanyakan keterangan Teguh. Jika ia tidak pernah hadir rapat, lantas bagaimana ia tahu bahwa hampir semua anggota Komisi II mendukung program e-KTP?
Baca: Sidang E-KTP Hadirkan 7 Saksi, Antara Lain Tiga Politikus DPR
Teguh berdalih bahwa ia mengetahui kesimpulan isi rapat itu saat diperiksa penyidik KPK. "Setelah saya diperiksa, saya minta notulensi rapat dan saya baca, dari situ saya tahu," ucap dia.
Selain rapat-rapat formal, Teguh mengatakan, ia juga tidak pernah menghadiri rapat-rapat informal anggota dewan untuk membahas proyek senilai Rp 5,9 triliun itu. Ia pun membantah bahwa untuk memuluskan pembahasan anggaran proyek, ada uang yang dibagi-bagi.
Pada proyek e-KTP, Komisi II DPR bertugas untuk menyetujui pembiayaan yang diambil dari APBN 2012. Dalam dakwaan dua terdakwa korupsi e-KTP Irman dan Sugiharto disebutkan bahwa untuk menyetujui anggaran itu, para anggota DPR mendapatkan uang pelicin.
Beberapa rapat informal yang dilakukan anggota DPR dan pengusaha rekanan Kementerian Dalam Negeri diduga membahas soal pembagian uang.
MAYA AYU PUSPITASARI