TEMPO.CO, Yogyakarta - Inna Hudaya kesal. Perempuan yang melakukan aborsi itu sempat ketakutan karena mimpi dikejar-kejar bayi. Dia memilih aborsi karena kehamilannya tidak diinginkan. Saat itu, kandungannya berumur 6 pekan. Bermula dari pencariannya tentang aborsi lewat Internet, ia justru menemukan gambar-gambar bayi dan orok. Padahal arti aborsi berdasarkan keilmuan adalah menghentikan kehamilan sebelum usia 24 minggu dengan berat maksimal 500 gram.
"Semestinya saya takut karena dikejar-kejar gumpalan darah. Saya depresi akibat informasi yang salah," kata Direktur Samsara Indonesia itu saat berbagi cerita di hadapan pendamping penyintas kekerasan terhadap perempuan, difabel, kasus 1965, serta LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender) dalam acara Workshop Menulis "Menarasikan Pengalaman, Merawat Ingatan" di Omah Kalbu, Bantul, Selasa, 21 Maret 2017.
Baca juga:
Hari Perempuan: Perempuan Jadi Korban Kekerasan...
Salah satu kata kunci untuk mengatasinya, menurut Inna, adalah melalui pendidikan seks ataupun kesehatan reproduksi sejak dini dan benar, baik di sekolah maupun dalam keluarga. Persoalannya, seks masih dianggap tabu sebagian besar keluarga dan sekolah.
"Negara melarang aborsi tapi tak bisa mencegah bagaimana agar perempuan tidak melakukan aborsi," kata Inna.
Kisah perempuan korban kekerasan pun dikisahkan Chandra Asih dari Solidaritas Perempuan (SP) Kinasih Yogyakarta. Chandra terpaksa menjadi single parent bagi anak semata wayangnya yang lahir tanpa tanggung jawab laki-laki yang seharusnya menjadi ayahnya. Kondisi lingkungan dan keluarga yang tak sepenuhnya mendukung membuatnya harus menetapkan pilihan.
Baca pula:
Netty: P2TP2A Harus Berpihak Kepada Korban Kekerasan
"Saya bergaul dengan teman-teman yang mau mendukung saya. Dari situlah, saya punya kekuatan untuk membesarkan anak saya," ucap Chandra.
Lain lagi dengan cerita Budi Tongkat dari Difabel and Friends Community yang pernah mendampingi perempuan yang diasingkan keluarganya karena difabel. Perempuan itu tak bisa berjalan karena dua kakinya mengecil akibat polio.
Sehari-hari, dia berjalan dengan mengandalkan dua tangannya. Tragisnya, perempuan tersebut harus mengalami kekerasan dari keluarga yang melarangnya keluar rumah untuk berinteraksi dengan lingkungan selama 28 tahun. "Kasus itu terkuak ketika ada program pembagian kursi roda," ujar Budi.
Rupanya, kasus serupa ditemukan saat erupsi gunung api Merapi. Banyak difabel yang ditinggal di rumah saat keluarganya mengungsi lantaran selama ini keluarga menyembunyikan keberadaan mereka dari publik.
Persoalannya, tutur Ika Ayu dari Jaringan Perempuan Yogyakarta (JPY), kisah-kisah itu hanya dipendam korban seorang diri. Mereka trauma untuk mengisahkan kembali masa lalunya. Sebaliknya, korban yang berani mengungkapkan justru mengalami judgment mental dari publik, misalnya dianggap ceritanya dibuat-buat. Akhirnya, mereka yang disalahkan. Media tulisan pun menjadi pilihan bagi para penyintas untuk menjalin kembali narasi-narasi kisah masa lalunya.
"Menulis untuk merawat ingatan. Bukan untuk melupakan, tapi justru menyembuhkan," kata Ika, yang menyebutkan workshop menulis sebagai trauma healing itu baru pertama kali digelar.
Inna pun mencontohkan bagaimana menuliskan narasi melalui konsep expressive writing bisa menyembuhkan trauma. Misalnya, perempuan penyintas kasus 1965 yang ketakutan saat melihat spanduk bertuliskan "Awas Bahaya Komunis" atau "Awas Bangkitnya Neokomunis" diminta menuliskan segenap emosi perasaannya, seperti ketakutan, kesedihan, dan kekecewaannya saat melihat spanduk itu.
"Penulisan dilakukan berulang-ulang sambil melihat spanduk itu. Nanti akan terbiasa," ujar Inna.
PITO AGUSTIN RUDIANA
Simak:
Menteri Muhadjir Effendy Larang Anak Didik Bermain SkipChallenge