TEMPO.CO, Jakarta - International People’s Tribunal (IPT) 1965, Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan, dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia atau YLBHI mempertanyakan keseriusan pemerintah menangani peristiwa pelanggaran hak asasi manusia 1965. "Tidak ada tindak lanjut," ujar Panitia Pengarah Kongres IPT 1965, Dolorosa Sinaga, kemarin, 19 Maret 2017.
Dolorosa menyatakan ketidakjelasan ada pada hasil simposium 1965 yang diselenggarakan pemerintah pada April tahun lalu. Salah satu hasil simposium menyatakan pemerintah terlibat dalam tragedi 1965 dan harus menyatakan permintaan maaf serta melakukan rehabilitasi. Simposium ini merupakan kelanjutan dari hasil sidang Mahkamah Rakyat Internasional di Den Haag, Belanda, pada pertengahan November 2015.
Baca juga:
Putusan Tribunal Soal 'Genosida' 1965 Akan Diserahkan ...
Menurut Dolorosa, rencana pengungkapan kebenaran kandas dengan batalnya pembentukan Komite Kepresidenan untuk Pengungkapan Kebenaran. Malah, ucap dia, ada rencana membentuk Dewan Kerukunan Nasional. "Lembaga ini justru memanipulasi langkah rekonsiliasi menjadi kerukunan dan menyingkirkan pengungkapan kebenaran," ujarnya.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto mengatakan pemerintah berencana membentuk Dewan Kerukunan Nasional (DKN) untuk menangani konflik horizontal skala nasional. Ia menyatakan tak menutup kemungkinan terlibatnya DKN dalam penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia masa lalu secara nonyudisial. "Kalau pelanggaran HAM tak bisa selesai secara yudisial, akan ke nonyudisial juga,” kata Wiranto.
HUSSEIN ABRI DONGORAN
Simak:
Keseharian Demo Para Petani Kendeng, Suara Aksi Semen Kaki