TEMPO.CO, Jakarta – Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup M.R. Karliansyah menyampaikan bahwa penyelesaian secara perdata akan diutamakan dahulu untuk perkara perusakan terumbu karang Raja Ampat, Papua. Sebabnya, pihak pemilik kapal sudah menyanggupi untuk membayar ganti rugi.
"Pada tanggal 14 Maret kemarin sudah ada pertemuan di Kemenko Maritim yang melibatkan kuasa hukum perusahaan. Di situ, mereka siap mengganti rugi. Jadi, perdata bisa jalan," ujar Karliansyah saat dihubungi Tempo, Sabtu, 18 Maret 2017.
Sebagaimana diberitakan, zona terumbu karang seluas 1,3 hektare di Raja Ampat rusak akibat diterabas kapal pesiar MV Caledonian Sky. Hal itu memicu pemerintah untuk mengambil langkah hukum. Beberapa langkah hukum yang dipertimbangkan pemerintah adalah perdata, pidana, dan administrasi.
Khusus perdata, lanjut Karliansyah, pihak pemerintah tengah menghitung kerugian yang harus diganti oleh pemilik kapal yang rencananya via asuransi. Penghitungannya tidak hanya mengikutkan unsur terumbu karang yang rusak tapi potensi kerugian yang dihadapi pemerintah dan warga setempat.
Karliansyah berkata beberapa potensi kerugian yang tengah dihitung adalah potensi kerugian dalam hal perikanan dan potensi kerugian dalam hal pariwisata. Sebagai contoh, berapa banyak potensial pendapatan untuk penyelam dan resor di Raja Ampat yang hilang akibat rusaknya terumbu karang.
"Ini sedang ada tim yang menghitung. Teman-teman dari Kemenko Maritim, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Lingkungan Hidup, dan Kementerian Pariwisata lagi di lokasi," ujarnya. Karliansyah menambahkan, dia belum memiliki taksiran harga per jenis terumbu karang yang rusak.
Nah, perihal pendekatan secara pidana dan administrasi, Karliansyah mengatakan hal itu akan ditentukan belakangan. Sebabnya, ada hal atau masalah yang harus dipertimbangkan. Misalnya, untuk pidana, soal ekstradisi nakhoda kapal Caledonian Sky yang diketahui berkebangsaan Inggris dan berdomisili di Amerika Serikat.
"Ditentukan sambil jalan. Kalau sulit untuk nakhodanya (secara pidana), bisa juga izin berlayarnya ke Indonesia kami cabut. Permohonan di perairan Indonesia kami tolak. Itu secara administrasi," ujarnya mengakhiri.
ISTMAN M.P.