TEMPO.CO, Semarang - Ombudsman Republik Indonesia atau ORI Kantor Perwakilan Jawa Tengah menilai sejumlah peraturan tentang perekrutan aparatur tingkat desa yang diteken kepala daerah menimbulkan pungutan liar. Lembaga pengontrol kebijakan pemerintahan dan layanan publik itu menemukan nilai pungutan untuk mendaftarkan diri sebagai aparatur desa seperti kepala urusan dan kepala seksi di tingkat desa mencapai ratusan juta.
"Nilai yang ditentukan setiap desa beragam, mulai Rp 65 juta hingga lebih dari Rp 100 juta," kata Pelaksana Tugas Kepala Ombudsman RI Kantor Perwakilan Jateng, Sabarudin Hulu, Jumat 10 Maret 2017.
Baca juga:
Pungli BPMPT Bandung, Ombudsman: Standar ...
Ia menyebutkan hasil pengaduan masyarakat yang ditindak lanjuti dengan investigasi ke daerah menunjukan Peraturan Bupati yang digunakan untuk mengacu peraturan desa atau Perdes, menyebutkan anggaran perekrutan dibebankan ke dana desa, jika tak cukup dicarikan dari sumber lain yang sah. “Nah aturan itu menimbulkan penyimpangan dalam bentuk pungutan liar,” kata Sabarudin.
Catatanya di sejumlah desa yang ia telusuri di Kabupaten Pati dan Pemalang menyebutkan dana pungutan untuk pencalonan di setiap desa itu terkumpul hingga Rp 375 juta. Sedangkan biaya operasional proses pencalonan hanya 75 juta.
Baca pula:
Ombudsman: Kepolisian Paling Banyak Diadukan
Anehnya, sisa uang pungutan dari para calon aparatur desa itu ada yang digunakan untuk membangun kantor kepala desa yang sebenarnya sudah dianggarkan dari anggran belanja desa yan diberikan pemerintah pusat. "Pertangung jawabannya tak jelas dan cenderung jadi lahan korupsi,” kata Sabarudin menjelaskan.
Menurut Sabarudin jika dikumolatifkan, nilai pungutan dari semua desa yang mengeglar perekrutan aparatur itu pasti tinggi. Meski tak mencatat detail jumlah desa di Jateng yang merekrut aparat, dipastikan setiap desa mendapat dana kelebihan biaya yang dipungut dari calon mencapai Rp 300 jutaan.
Anggota Komisi Hukum dan Peraturan Daerah, DPRD Jateng, Benny Karnadi menyatakan pratik pungli dalam proses perekrutan apartur desa itu menjadi proses demokratisasi yang semu. "Negara memberikan fasilitas demokrasi termasuk di desa. Ini menjadi kekhawatiran dan harus perubahan perbub agar lebih tegas menghindari pungutan,” kata Benny Karnadi.
Menurut dia, pungutan liar perekrutan aparatur desa itu berefek pada produk aparat desa menjadi pelaku pungli baru. "Artinya negara membiarkan peluang aparat tingkat desa jadi pelaku pungli," katanya.
Ia menilai proses perekrutan aparat desa yang terjadi di kabupaten itu menunjukan demokrasi hanya milik orang yang punya uang, bukan mereka yang punya kualitas sumber daya. "Pelanggaran hak mencalonkan diri terpaksa dibatasi oleh aturan yang tak sesuai kondisi warga negara. Jadi aturan lebih sempit," kata Benny.
EDI FAISOL
Simak:
KPK Sambut Baik LPSK Berikan Perlindungan Saksi E-KTP