TEMPO.CO, Yogyakarta - Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X meminta penyusunan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Inisiatif DPRD DIY tentang Arsitektur Bangunan Berciri Khas DIY dilakukan dengan hati-hati.
"Saya khawatir kalau soal arsitektur begini diatur rigid (melalui perda), investor malah takut dan enggak jadi investasi," ujar Sultan menjawab pertanyaan Tempo terkait dengan raperda tersebut, yang pekan ini mulai dibahas DPRD DIY, Senin, 6 Maret 2017.
Baca juga: Sail Sabang Dorong Investasi Swasta Di Bidang Pariwisata
Raperda ini disusun DPRD dengan dalih mempertahankan atau melindungi arsitektur bangunan khas DIY agar tidak tenggelam atau tergusur corak-corak arsitektur bangunan baru yang tumbuh pesat. DPRD pun mencantumkan klausul sanksi pidana denda maksimal Rp 50 juta dan kurungan penjara maksimal 6 bulan dalam beleid itu.
Namun, Sultan menilai, ketika sebuah arsitektur bangunan wajib mengacu suatu kaidah demi mencirikan arsitektur tertentu, yang mencerminkan kekhasan DIY seperti model atap limasan, investor bakal kerepotan.
Sultan mengambil contoh bangunan hotel. Saat lahan di perkotaan sudah sangat terbatas, biasanya hotel akan memfungsikan bangunan di atas sebagai area pendukung perangkat telekomunikasi atau lainnya. Jika dipaksakan menggunakan model arsitektur limasan, yang cenderung menutup bagian atas ke bawah seperti limas, fungsi optimalisasi lahan kosong di bagian atas tak bisa dilakukan.
Silakan baca: Pemprov Jatim Targetkan 25 Ribu Pembangunan Rumah Murah
"Investor akhirnya enggak jadi tanam modal gara-gara atapnya harus limasan," ujarnya.
Sejak awal, Sultan sudah tak setuju dengan adanya sanksi pidana dalam raperda itu. Ia mengatakan, arsitektur merupakan hasil karya kreativitas manusia sehingga sanksi pidana untuk menilai hasil karya tersebut tak seharusnya dicantumkan. "Jangan apa-apa dikenai pidana. Untuk perlindungan arsitektur khas DIY bisa dilakukan dengan pendekatan dan sosialisasi," ujar Sultan.
Sultan menambahkan, dimensi mengenai arsitektur sangat luas. Selain itu, wacana penyeragaman yang dijadikan regulasi dinilai bakal merepotkan pemerintah kabupaten/kota yang selama ini punya wewenang mengeluarkan izin pembangunan.
"Saya belum tahu persis seberapa jauh pengaturan arsitektur dalam raperda ini,” ujar Sultan. "Apakah mengacu arsitektur tradisional Yogyakarta, disertai gambar atau tidak, pemberlakuannya di mana saja, dan apakah mengatur bentuk arsitektur luar atau dalam bangunan."
Senin, 6 Maret 2017, DPRD DIY mengesahkan pembentukan Panitia Khusus (Pansus) Raperda Arsitektur Bangunan Berciri Khas DIY. Wakil Ketua DPRD DIY Dharma Setiawan menuturkan, perumusan Raperda Arsitektur Bangunan sama sekali tidak dimaksudkan untuk membentuk eksklusivisme kesukuan dan/atau kedaerahan.
"Melainkan sebagai bentuk pengukuhan jati diri keyogyakartaan sebagai bagian integral dari kebhinnekaan kebudayaan nasional," ujar politikus Partai Gerindra itu.
DPRD menilai raperda ini perlu ada karena sampai sekarang belum ada regulasi jelas dan sanksi tegas untuk mengarahkan perkembangan arsitektur di DIY. Padahal, menurut Dewan, arsitektur merupakan unsur penting untuk menunjukkan identitas atau kekhasan sebuah kawasan.
Dharma menuturkan, secara yuridis, raperda ini sesuai dengan Perda DIY Nomor 4 Tahun 2011 tentang Tata Nilai Budaya. Dalam lampiran huruf G Tata Nilai Penataan Ruang dan Arsitektur mengamanatkan, untuk mewujudkan tata nilai arsitektur di wilayah DIY perlu ada peraturan yang mengatur arahan persyaratan pola arsitektur di kawasan cagar budaya dan di luar kawasan cagar budaya.
Kawasan cagar budaya terdiri atas tiga mintakat (zonasi) utama, yakni mintakat inti, mintakat penyangga, serta mintakat pengembangan dan penunjang. Dengan raperda baru ini, bangunan baru yang dalam area mintakat inti perlu menerapkan rancangan pola (arsitektur) lestari asli, bangunan di kawasan mintakat penyangga dengan pola selaras sosok, dan di mintakat pengembangan dengan pola selaras parsial.
Anggota DPRD DIY, Agus Sumartono, menuturkan, dengan raperda arsitektur ini, seyogyanya bisa diterapkan pada bangunan baru strategis di DIY. Terlebih, misalnya, bandara baru Kulon Progo, stasiun kereta api, Tanjung Adikarto Kulon Progo, juga gedung-gedung milik pemerintah pusat dan BUMN.
"Kami setuju sanksi pidana diganti dengan sanksi administratif karena niat raperda ini untuk mengajak warga berpartisipasi aktif menjaga kekhasan melalui arsitektur bangunan," ujarnya.
PRIBADI WICAKSONO