TEMPO.CO, Ambon - Gubernur Maluku Said Assagaff menegaskan, Tanwir Muhammadiyah di Ambon pada 24-26 Februari 2017 memberi dampak ganda terhadap kemajuan Maluku. "Maluku memperoleh dampak strategis, terutama untuk memperkukuh silaturahmi dan ikatan keadaban sesama anak bangsa, serta menegaskan kembali pentingnya merawat Bhinneka Tunggal Ika untuk Indonesia tanpa diskriminasi, tanpa kekerasan, tanpa monopoli, serta aman dan damai," kata Said dalam penutupan Tanwir Muhammadiyah, di Ambon, Minggu, 26 Februari 2017.
Pelaksanaan Tanwir juga membuat Presiden Joko Widodo untuk kedua kalinya, dalam bulan Februari 2017, berkunjung ke Ambon setelah sebelumnya hadir pada puncak Hari Pers Nasional (HPN) 2017 pada 9 Februari 2017, serta Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk kesekian kalinya mengunjungi Ambon sebagai kampung halamannya.
Baca: Presiden Jokowi Buka Sidang Tanwir Muhammadiyah di Ambon
Kalla diangkat sebagai warga kehormatan Kota Ambon dan memiliki kartu tanda penduduk (KTP) sebagai orang Ambon. Dia juga memiliki andil sangat besar terhadap proses rekonsiliasi saat konflik Maluku, terutama dalam Perjanjian Malino II.
Sedangkan Jokowi dikukuhkan sebagai Upu Kaletia Kenalean Da Ntul Po Deyo Routnya Hnulho Maluku, atau bapak pemimpin besar yang peduli terhadap kesejahteraan hidup masyarakat adat di Maluku, oleh Majelis Latupati Maluku, bersamaan dengan pembukaan sidang Tanwir Muhammadiyah, Jumat, 24 Februari 2017.
Pertemuan tersebut juga membuat daerah-daerah yang berciri kepulauan seperti Maluku mendapat dukungan penuh dari Muhammadiyah, serta dukungan sangat positif dari Jokowi melalui sejumlah program prioritas untuk mempercepat ketertinggalan pembangunan yang pembiayaannya akan dilakukan selama tiga tahun mendatang.
Menurut Said, bagi orang Maluku, fakta kebhinekaan merupakan bagian dari identitas kebudayaan, mengingat perspektif sejarah masa lampau sebagai pulau rempah-rempah (the spices island), khususnya cengkeh, pala, dan fully.
"Sejak dahulu Maluku sudah menjadi tempat perjumpaan berbagai peradaban di dunia serta terbangun jalinan Nusantara, selain menjadi wilayah berbagai kepentingan dagang dan politik dunia, terutama Portugis, Spanyol, Inggris, Belanda, dan Jepang, selain Arab, Cina, dan India. Kondisi ini menjadikan masyarakat Maluku sangat multikultural," katanya.
Maluku memiliki lebih-kurang 100 sub-suku dan sub-etnik, 117 bahasa dan dialek, serta enam agama resmi dan agama-agama suku. Selain itu terdapat fam atau marga dari negara luar, di samping puluhan bahkan ratusan marga lokal, juga yang merupakan akulturasi dengan budaya daerah lain.
Said mencontohkan, dari Sulawesi Selatan menggunakan marga Bugis atau Makassar, Sulawesi Tenggara menggunakan inisial La atau Wa, Sumatera menggunakan marga Padang, Palembang. Dari Arab ada yang memakai fam Assagaf, Al-Idrus, Basalamah, Attamimi, dan Bahsoan, dari Belanda menggunakan marga Van Afflen, Van Room, De Kock, Ramschie, dan Payer. Kemudian marga Da Costa, De Fretes, De Lima, Fareire dari Portugis dan marga Lie, Khouw dari Cina.
Akulturasi tersebut juga memunculkan berbagai khazanah seni budaya di Maluku yang merupakan perpaduan budaya lokal dengan Islam atau Arab, di antaranya Abda'u di Negeri Tulehu, Pukul Sapu di Negeri Mamala-Morela, dan tarian Sawat serta perpaduan budaya lokal dengan barat, seperti tari Katreji, musik Hawaiian, tarian Oralapei, dansa Ola-Ola, dan tarian Cakaiba.
"Walaupun berbeda, katong (kami) tetap basudara (bersaudara). Walaupun berbeda, beta (saya) tetap Maluku, merasa saling memiliki sebagaimana petuah luhur orang Maluku ale rasa beta rasa (sama-sama merasakan), potong di kuku rasa di daging, sagu salempeng dibagi dua, atau ain ni ain (satu untuk semua, semua untuk satu)," katanya.
Said berharap, Muhammadiyah bersama Nahdlatul Ulama (NU), sebagai dua organisasi Islam moderat terbesar di Indonesia, lebih giat mengembangkan Islam yang rahmatan lilalamin, yaitu Islam yang berkemajuan, toleran, egaliter, inklusif, pluralis, dan kosmopolitan, dalam rangka membangun Indonesia yang berkeadaban.
ANTARA