TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie menilai pernyataan Presiden Joko Widodo bahwa demokrasi di Indonesia sudah kebablasan ada benarnya. Namun yang terpenting, ujar Jimly, penyataan tersebut membuka evaluasi terhadap demokrasi pascareformasi.
"Ada benarnya, tapi bukan istilah itu yang penting. Yang penting adalah hak-hak yang berkenaan dengan kinerja demokrasi kita banyak yang harus diperbaiki," kata Jimly di restoran Gado-Gado Boplo, Jakarta, Sabtu, 25 Februari 2017.
Baca: Pimpinan DPR Beri Izin Pansus Kunker ke Meksiko dan Jerman
Dalam sambutan pelantikan pengurus baru Dewan Pimpinan Pusat Partai Hati Nurani Rakyat periode 2016-2020, Presiden Jokowi menyebut praktek demokrasi yang terjadi dalam empat bulan terakhir ini kebablasan. Ia menyatakan praktek politik demokrasi di Indonesia membuka peluang artikulasi politik yang ekstrem.
Menurut Jimly, dalam konteks demokrasi, pernyataan Jokowi menyiratkan adanya kebebasan yang harus dikontrol oleh hukum. "Penegakan hukum menjadi kunci, hanya saja menegakkan hukum harus kita hati-hati," ujar Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu itu.
Dengan kontrol hukum, menurut Jimly, agar kebebasan berdemokrasi jangan sampai menimbulkan perpecahan dan menciptakan kesenjangan sosial-ekonomi. "Karena tanpa efektifnya penegakan hukum dan keadilan itu kebebasan itu akan menghasilkan kesenjangan yang makin jauh," ujar dia.
Simak: Ahok-Djarot Harus Cuti Lagi, Sekjen PDIP: Ada Nuansa Politis
Kepala Pusat Krisis Media Sosial Kantor Staf Presiden Alois Wisnuhardana menyebutkan konteks pernyataan Presiden Jokowi soal demokrasi yang kebablasan berkaitan dengan maraknya ujaran kebencian dan berita bohong (hoax). Contohnya, ketika Bank Indonesia menerbitkan uang baru yang diprotes sejumlah pihak lantaran polemik logo rectoverso BI. "Nah ini menjadi kontra produktif," kata Alois.
ARKHELAUS W.