TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Busyro Muqoddas mengamati berlangsungnya pemilihan kepala daerah serentak 2017 yang dilakukan di 101 daerah. Ada keprihatinan yang ia rasakan. "Selama ini, pilkada lebih sebagai ajang oligarki, pemodal membeli jabatan publik," kata Busyro. Ditambah lagi, ucap dia, Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah tidak reformatif dan diperparah lagi dengan permisifikasi masif masyarakat. "Khususnya demoralisasi dengan money politic atau politik uang."
Baca juga: Status WA Eks Pemimpin KPK, Bodoh Rakus: Negara Gagal
Melalui proses demokrasi pemilihan langsung, Busyro mengakui muncul beberapa kepala daerah yang sukses menjadi pemimpin karena faktor integritas. "Ada kepala-kepala daerah yang sukses menjadi pemimpin karena faktor integritas yang bersangkutan dan basis dari keluarga," ujar salah satu anggota Pimpinan Pusat Muhammadiyah ini.
Menurut Busyro, keluarga menjadi pilar dan pengawal penentu integritas kepala daerah tersebut. Kepala daerah terpilih, tutur dia, seharusnya melibatkan elemen masyarakat sipil dalam partisipasi proses pembangunan. "Kepala daerah jenis ini tidak disandera pemodal dan parpol, sehingga tidak menjadi ATM (automatic teller machine) siapa pun,” katanya.
Silakan baca: Kasus Ipar Jokowi, Busyro:Semoga KPK Makin Ekstra Independen
Namun yang ia sayangkan, kebanyakan kepala daerah menjadi bagian dari kepentingan pemodal dan partai politik. "Diperparah oleh KKN serta tidak melibatkan civil society organization (CSO) atau organisasi masyarakat sipil," ucap Busyro.
Selain itu, masih lemahnya kontrol organisasi masyarakat sipil membuat pilkada tidak akan menjadi praktek demokrasi kualitatif. "Melainkan proses degradasi kualitas demokrasi itu sendiri," ujar Busyro.
S. DIAN ANDRYANTO
Simak: Ma'ruf Amin MUI: Saya Tolak Menemui Keduanya, Ahok dan Anies