TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang menilai Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi semakin menjamin penegakan hukum. “Bukan hanya kepastian buat penegak hukum, tapi juga memberi kepastian kepada korporasi,” ucapnya di Jakarta, Selasa, 21 Februari 2017.
KPK, kata Saut, memang menantikan keluarnya perma tersebut. Dengan keluarnya peraturan itu, tidak akan ada lagi area abu-abu penegakan hukum di sektor korporasi. Selama ini, penyidik kerap berdebat jika menghadapi tindak pidana yang dilakukan korporasi karena belum ada aturan yang jelas untuk menjerat perusahaan yang bersalah.
Baca:
Ini Alasan Korporasi Sering Lolos dari Jerat Pidana Korupsi
Kunjungi KPK, MA Rampungkan Perma Pidana Korporasi
Perma itu akan membuat KPK percaya diri untuk tindak pidana korporasi. KPK berharap indeks persepsi korupsi bisa meningkat dari yang sekarang 37 menjadi 40.
Wakil Ketua Mahkamah Agung Muhammad Syarifuddin menuturkan perma itu keluar sehubungan dengan kerja sama antara Mahkamah, KPK, kepolisian, dan kejaksaan. Ia mengakui, perma tersebut memang diharapkan semua pihak. “Perma ini mengatur prosedur pengajuan korporasi sebagai pelaku tindak pidana,” ujarnya.
Baca juga:
Pengurus Masjid Istiqlal Menyatakan Tak Terkait Aksi 212 Jilid II
Terima Fatwa Mahkamah Agung, Menteri Tjahjo: Surat MA Itu Rahasia...
Syarifuddin mengatakan, selama ini, masih sedikit korporasi yang dinyatakan sebagai pelaku tindak pidana. Padahal undang-undang sudah mengancam pidana korporasi yang bersalah. Ia menilai hal itu karena belum ada prosedur yang jelas dalam proses penuntutan.
Selama ini, ucap Syarifuddin, hukum acara di Indonesia belum sampai mengatur prosedur formil pengajuan tuntutan terhadap korporasi, sehingga secara umum peraturan masih menjerat pengurus perusahaan yang terlibat perkara. “KUHAP dan KUHP memang tidak mengatur pengajuan korporasi, karena yang diatur adalah orang perseorangan,” ujarnya.
Perma ini menyebutkan perbuatan-perbuatan yang menjadi kriteria bahwa korporasi bisa dijerat pidana. Syarifuddin menilai, karena masih baru, perma itu perlu disosialisasi agar semua pihak bisa memahami, termasuk hakim yang memutus perkara.
DANANG FIRMANTO