TEMPO.CO, Jakarta - Adi Prayitno, pengamat politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, memperhatikan pola pemilih Islam pascareformasi. Terkait dengan pemilihan serentak pada 2017, pilkada DKI Jakarta bisa menjadi contohnya. Meskipun dalam pilkada DKI putaran kedua nanti jumlah pemilih beragama Islam dominan, suara pemilih muslim tampaknya tersebar dengan berbagai alasan, bisa ke Anies-Sandi atau ke Ahok-Djarot.
Pemilih Islam ke mana? "Pasca reformasi, saya termasuk salah seorang yang tak terlalu percaya dengan politik aliran Islam saat ini. Corak dan model keberagaman menjadi alasan fundamental tersebarnya pemilih Islam ke banyak partai," kata Adi.
Baca juga:
Pengamat Politik: Bisa Jadi SBY Pakai Jurus Pilpres 2014
Pengamat Politik: 4 Kemungkinan Berlabuh Suara Agus-Sylvi
Menurut dia, jika betul bahwa Islam menjadi sentiment elektoral dalam pilkada, sejatinya partai seperti Partai Amanat Nasional, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Persatuan Pembangunan bisa satu perahu dengan Partai Keadilan Sejahtera yang mendukung Anies-Sandi. "Tapi nyatanya tidak terjadi pada putaran pertama," ucapnya.
Sudah menjadi rahasia umum, menurut Adi, masing-masing partai Islam tersebut memiliki irisan ideologi yang berbeda-beda. "PKB dan PAN, misalnya. Pemilihnya yang berbasis NU dan Muhammadiyah relatif open minded, terbuka dan inklusif. Berbeda dengan pemilih PKS dan PPP yang relatif tertutup menjaga jarak dengan komunitas Islam lain," ujarnya. "Suasana kebatinan semacam itulah yang kerap menjadikan pemilih Islam tak solid dalam setiap hajatan elektoral."
Baca pula: Pengamat Politik: Jalan Sulit PAN, PKB, PPP di Pilkada DKI
Lebih lanjut, Adi menekankan pula persoalan gengsi. "Belum lagi soal gengsi, antarelite partai Islam turut mewarnai ketidakharmonisan pemilih Islam. Mereka terkotak-kotak secara alamiah, bergantung pada ke mana kiblat pemikiran mereka," tuturnya.
Bahkan, pada level tertentu, menurut Adi, pemilih PKB, misalnya, sudah tak mempersoalkan latar belakang etnis dan agama calon pemimpin. "Berbeda dengan PKS dan PPP yang masih sulit menerima pemimpin dari kalangan minoritas, agama dan etnis tertentu. Dalam konteks pilkada DKI Jakarta, misalnya, meski PAN punya habit terbuka, sepertinya mereka cukup sulit menerima sosok yang cukup kontroversial menista agama dan menghardik ulama," kata Adi.
Meski begitu, dalam konteks demokrasi elektoral Indonesia saat ini, alasan corak keagamaan semacam itu mulai tak berarti. "Perlahan mulai tergantikan oleh kepentingan politik, konsesi kekuasaan, dan sebagainya," ucap Adi Prayitno.
S. DIAN ANDRYANTO
Simak: Pemuda Muhammadiyah Minta Ahok Dicopot, Jokowi:Tunggu Sidang