TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Bela Negara Kementerian Pertahanan Laksamana Pertama TNI Muhammad Faizal mengatakan serangan militer negara lain bukan lagi ancaman bagi suatu bangsa. Menurut dia, hal yang harus diwaspadai adalah munculnya perang modern yang berbentuk narkoba dan radikalisme.
"Perang Dunia I dan Perang Dunia II membuat negara-negara malas berperang. Tapi bagaimana menghancurkan negara lain? Melalui narkoba dan radikalisme," ujar Faizal ketika menjadi pembicara dalam Seminar Nasional "Memperjuangkan Kesejahteraan dalam Bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia" yang digelar oleh Asosiasi Serikat Pekerja (ASPEK) Indonesia di Jakarta, Senin 20 Februari 2017.
Melalui penyebaran narkoba dan doktrin radikalisme yang disebutnya sebagai perang modern, Faizal mengingatkan masyarakat tidak boleh lengah karena dampaknya yang sangat merugikan. Ia mencontohkan Cina pernah dihancurkan melalui Perang Candu yang membuat negara tersebut menyatakan perang melawan narkoba.
Baca juga:
FUI Bantah Aksi 212 Jilid II Bermuatan Politik
Aksi 212 di DPR, Ketua PBNU Pesan Tetap Jaga Akhlak
Itu sebabnya, untuk melawan narkoba dan radikalisme, Faizal menyebut pemerintah harus menanamkan kesadaran bela negara bagi warganya. Bela negara disebutnya merupakan kewajiban seluruh warga negara untuk melindungi bangsa dan negara dari ancaman negara lain.
"Bukan berarti jadi tentara, tapi dari sikap dan perilaku. Misalnya cinta tanah air, rela berkorban. Sederhana sekali bela negara itu," tutur dia.
Ia menambahkan bahkan bekerja dengan baik dan profesional, seseorang dapat disebut membela negara sesuai profesinya. "Ancaman bukan hanya militer, ada juga ancaman budaya atau ancaman ekonomi," ujarnya.
Seminar tersebut juga menghadirkan pembicara dari Dewan Pakar ASPEK Indonesia Kun Wardana Abyoto, Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Kementerian Ketenagakerjaan Haiyani Rumondang serta Staf Ahli Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Rudi Soeprihadi Prawira dan pengamat politik ekonomi Ichsanuddin Noorsy.
ANTARA