TEMPO.CO, Jakarta - Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok terdakwa kasus penodaan agama, dan calon inkumben Gubernur DKI Jakarta setelah masa cuti kampanyenya berakhir, diangkat kembali menjadi Gubernur DKI Jakarta bertepatan memasuki masa tenang Pilkada DKI 2017, pada 11 Februari lalu.
Hal ini memicu beberapa pendapat baik praktisi hukum maupun politisi. Beberapa hari sebelum itu, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD mengingatkan, Presiden Joko Widodo dan Menteri Dalam Negeri terancam melanggar konstitusi jika tak menonaktifkan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Baca juga:
Ahok Diaktifkan, Hamdan Zoelva: Alasan Mendagri Tjahjo Aneh
Cuti Ahok Habis, Kenapa Presiden Disebut Bisa Langgar Konstitusi
"Seorang kepala daerah yang menjadi terdakwa, bukan menjadi tertuntut (tersangka) ya, itu diberhentikan sementara. Tidak ada pasal lain lagi yang bisa menafikan itu," kata Mahfud di kantor Komisi Pemberantasan Korupsi, Kamis, 9 Februari 2017. Menurutnya, pemberhentian sementara Ahok itu sesuai dengan Undang-Undang Pemerintah Daerah Pasal 83 ayat 1.
Namun, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo memberikan kepastian bahwa Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok akan kembali menjadi Gubernur DKI Jakarta seusai masa cuti kampanyenya usai. Hal ini mengingat belum ada tuntutan dari jaksa terkait dengan kasus penodaan agama yang menjerat Ahok.
"Saya tunggu tuntutan jaksa resmi dulu," ujar Mendagri Tjahjo di Istana Kepresidenan, Jumat, 10 Februari 2017.
Silakan baca:
Gubernur Ahok Aktif Lagi, ACTA Gugat Pemerintah
Angket Ahok di DPR, Tjahjo: Usai Cuti Kami Kembalikan
Alasan tersebut ditanggapi pula mantan Ketua MK lainnya, Hamdan Zoelva. Kalau Mendagri beralasan belum ada tuntutan, menurut Hamdan Zoelva justru menjadi aneh. Menurutnya, karena pasal 83 UU Pemda tidak merujuk pada surat tuntutan jaksa tetapi dakwaan. “Antara tuntutan dengan dakwaan sangat beda. Seseorang didakwa atau menjadi terdakwa artinya saat perkaranya diajukan ke pengadilan, sedangkan tuntutan pidana, saat setelah semua sidang pemeriksaan bukti diselesaikan, kemudian jaksa mengajukan tuntutan pidana,” kata dia menjelaskan.
Hamdan Zoelva menambahkan, pemberhentian itu sementara sampai ada putusan pengadilan. "Jika putusan pengadilan negeri atau pengadilan tinggi membebaskannya, Ahok juga harus diaktifkan kembali. Tapi, jika sebaliknya tetap dalam statusnya diberhentikan sementara, sampai ada putusan yang berkekuatan hukum tetap," katanya.
Baca pula:
Fadli Zon: Hak Angket Ahok Bukan Berujung ke Pemakzulan
Anggota Fraksi PDIP: Hak Angket Ahok di DPR Tak Perlu
Mahfud berujar, Ahok bisa diaktifkan kembali sebagai gubernur saat masa cuti kampanye selesai sesuai dengan aturan pilkada. Namun, kata Mahfud, Presiden Jokowi melalui Menteri Dalam Negeri harus menonaktifkan Ahok kembali. Bila melewati 12 Februari 2017, Presiden telah melanggar konstitusi karena memberikan jabatan kepala daerah kepada seorang terdakwa.
Menarik untuk dibaca:
Fraksi Demokrat Minta Anggotanya Dukung Hak Angket Ahok
Pakar Hukum: Tidak Ada Alasan Menonaktifkan Ahok
Dalam sebuah wawancara dengan televisi swasta, Mahfud mengatakan, "Kalau pemerintah sayang sekali dengan Ahok ini, terbitkan saja Peratutan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu),” katanya. Presiden harus mengeluarkan Perpu, karena tak ada instrumen hukum lain yang bisa membenarkan Ahok menjadi gubernur kembali tanpa mencabut itu. "Presiden boleh mencabut pasal itu, misalnya degan hak subjektifnya, asalkan mau menanggung seluruh akibat politik dari pencabutan pasal itu," kata Mahfud.
Mahfud pun mengingatkan konsekuensinya, bila tetap dilaksanakan. Maka, apapun keputusan yang dibuat Gubernur Basuki Tjahaja Purnama setelah diaktifkan kembali Mendagri, bisa tidak sah, dan akan lebih berat lagi konsekuensinya bila berkaitan dengan keuangan dan anggaran. “Bisa digugat sebagai tindakan korupsi,” katanya.
Baca:
Hak Angket Ahok Bergulir di DPR, Ini Komentar Mendagri
Hak Angket Ahok Bergulir di DPR, Mendagri Temui MA Hari Ini
Namun pakar hukum tata negara, Refly Harun, beda pendapat. Menurutnya, Ahok tidak perlu diberhentikan sementara dari jabatannya meski berstatus terdakwa. "Tidak ada alasan menonaktifkan jika pendekatannya berdasarkan hukum an sich," kata Refly, Jumat, 10 Februari 2017.
Namun, Refly mengemukakan, Ahok bisa saja dinonaktifkan jika pendekatannya politik yaitu dengan menggunakan perbedaan penafsiran dari Pasal 83 ayat 1. "Bisa dengan penafsiran tentang ancaman hukuman tadi atau poin perbuatan memecah belah persatuan," kata dia.
Silakan disimak:
Partai NasDem Minta Hak Angket Soal Ahok Distop
Anggota DPD Ini Kecewa Sikap Mendagri Soal Kembalinya Ahok
Saat ini, Mendagri Tjahjo Kumolo masih menunggu fatma MA (Mahkamah Agung). Ia menemui Mahkamah Agung untuk berkonsultasi soal status penonaktifan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok setelah cuti kampanye, hari ini Selasa 14 Februari 2017. "Semua orang punya tafsir, maka dari itu kami minta kepada MA yang lebih fair," kata Tjahjo, yang juga politikus senior PDI Perjuangan, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin 13 Februari 2017.
Di DPR, hak angket "Ahok Gate" terus bergulir yang dimotori fraksi dari Partai Gerindra, Demokrat, PKS, dan PAN.
S. DIAN ANDRYANTO I MAYA AYU PUSPITASARI I ARKHELAUS W