TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Republik Indonesia ketiga, B.J. Habibie, berdiri selama lebih dari dua jam di hadapan peserta Presidential Lecture yang diselenggarakan Bank Indonesia. Tanpa beranjak dari posisinya, ia menceritakan sebagian kisah hidupnya.
Habibie memulainya dengan kisah seputar buku yang ditulisnya sendiri yang berjudul “Detik-Detik yang Menentukan”. Ia mengatakan mendapat banyak masukan mengenai topik yang akan disampaikan di acara tersebut.
Karena terlalu banyak masukan, ia memutuskan menyampaikan dengan caranya sendiri. "Saya putuskan untuk cerita mengenai apa saja yang terjadi pada detik-detik yang menentukan itu," kata dia di Bank Indonesia, Jakarta, Senin, 13 Februari 2017.
Habibie ingat pernah mengirim surat kepada Presiden Soeharto agar bersedia membaca buku tersebut sebelum diterbitkan. Buku tersebut berisi penjelasan pencopotan Letnan Jenderal Prabowo Soebianto. Soeharto diberikan waktu tiga puluh hari untuk menanggapi tulisan tersebut. "Saya bukan mengancam, lho," kata Habibie disambut tawa peserta.
Cerita Habibie kemudian mengalir kepada kisahnya sejak pertama bertemu Soeharto. Mereka bertemu saat Soeharto berusia 28 tahun. Menurut Habibie, presiden kedua Indonesia itu berwajah tampan dan pendiam. Ceritanya lalu bergulir hingga masa keduanya memimpin Indonesia.
Habibie mengingat saat Soeharto memanggilnya ke Cendana, Menteng. Ia mengingat persis waktunya, 28 Januari 1974 pukul 19.30 WIB. Soeharto kala itu meminta Habibie kembali ke Indonesia setelah belajar di Jerman.
Habibie diminta membangun Industri Pesawat Terbang Nasional (IPTN). Habibie pun setuju dengan satu syarat. "Saya tidak mau dibiayai dengan pinjaman luar negeri. Saya hanya mau dibiayai dari penjualan sumber daya alam," katanya.
Habibie mengatakan perjalanan mengembangkan teknologi pesawat terbang tidak mudah. Namun ia membuktikan kesulitan tersebut bisa ditaklukan. Ia optimistis pemuda Indonesia saat ini bisa lebih baik darinya. "Kalian lebih baik keadaannya, lebih pintar. Jadi saya sangat optimistis dengan masa depan Indonesia," kata dia.
Selain bercerita mengenai perjalanannya dengan Soeharto, Habibie juga mengungkit masa sekolahnya. Ia mengenyam pendidikan di Jerman tanpa beasiswa. Tak jarang ia harus menahan lapar karena uang kiriman ibu dari Indonesia terlambat datang. Ia bersyukur pemuda Indonesia kini banyak mendapat peluang beasiswa.
VINDRY FLORENTIN