TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengatakan, dunia maya saat ini tengah dilanda penyakit hati. Menurut dia, sampah informasi bertebaran secara masif tanpa melalui verifikasi dan konfirmasi. "Hoax, sas-sus, fitnah, dan hujatan bersahut-sahutan nyaris tiada henti. Informasi sumir yang sudah usang datang silih berganti," kata Lukman dalam keterangan tertulisnya, Kamis, 9 Februari 2017.
Lukman berujar, berdasarkan data Kementerian Komunikasi dan Informatika pada akhir 2016, terdapat sedikitnya 800 situs yang diduga menjadi produsen berita hoax, berita palsu, dan juga ujaran kebencian. "Tersebar melalui Facebook, Twitter, hingga grup-grup Whatsapp, virus itu langsung menyerang otak mengoyak nalar insani. Bila terpapar virus ini, orang akan mengalami skizofrenia informasi yang berujung lunturnya nurani, akal, dan budi," ujarnya.
Padahal, menurut Lukman, akal dan budi dapat menentukan apakah seseorang mampu tegak atau malah terjerembab dalam kemudaratan. Karena itu, kata dia, penyakit hati sering disebut sebagai biang masalah. "Orang cerdas jadi nampak beringas, orang berilmu terjebak saling berseteru, dan orang berbudi dicaci-maki. Jempol tangan bergerak tanpa kendali," tuturnya.
Sayangnya, Lukman mengatakan, kondisi tersebut terjadi tanpa disadari. Menurut salah satu tokoh sufi, Imam Al Ghazali, penyakit hati ibarat belang di wajah seseorang yang tidak memiliki cermin. "Jika diberi tahu orang lain pun, mungkin ia tak mempercayainya. Pada suasana batin tertentu, kebenaran tak lagi jadi penentu. Segala alasan dicari untuk membenarkan tindakan yang telanjur salah."
Lukman menegaskan, seluruh masyarakat Indonesia sebenarnya bersaudara. "Jika salah satunya sakit, yang lain turut merasakannya. Karena itu, marilah berlatih empati agar selalu ingat pada keadilan ilahi. Sesama saudara, janganlah mencaci jika tak ingin dibenci. Jangan pula memfitnah karena bakal terkena tulah. Bersikaplah bijak agar sadar dimana tempat berpijak," katanya.
Di zaman digital seperti sekarang, menurut Lukman, masyarakat dihadapkan pada persaingan global. Jika ingin menjadi bangsa yang handal, masyarakat perlu mengoptimalkan kualitas diri. "Jadikan air bah informasi sebagai modal produktif menuju level lebih tinggi. Janganlah puas hanya menjadi generasi pemangsa berita bohong, penyantap kabar burung, atau penikmat konten negatif lainnya."
Lukman berujar, di era kebebasan berpendapat dan bermedia saat ini, empati perlu dikedepankan. Masyarakat harus menjaga kata-kata agar tidak melukai hati orang lain. "Aksi menebar kabar hoax bukanlah sedekah yang berpahala. Sebaliknya, itu menabur benih keburukan yang akan kembali pada diri kita semua. Kegemaran copy-paste tidaklah terpuji karena bisa mematikan kreativitas kita," ujarnya,
Di sisi lain, Lukman menyatakan, memanipulasi pesan dan mendistorsi informasi untuk memantik emosi merupakan perbuatan yang tidak terpuji. Berkomentar di media sosial tanpa memperhitungkan dampaknya, menurut dia, harus dihindari. "Melatih empati dengan berpikir bahwa orang lain bisa terluka karena kalimat kita di ranah maya sama artinya melatih diri untuk menjaga hati," tuturnya.
ANGELINA ANJAR SAWITRI