TEMPO.CO, Yogyakarta - Peneliti Pukat UGM (Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada) Hifdzil Alim mengungkapkan selama ini, ia sejak 2009-2010 masuk wilayah Klaten untuk mengumpulkan data-data kasus korupsi. Ia menyebut adanya kekuatan yang disebut Klaten Connection. Setelah tertangkapnya Sri Hartini, eks Bupati Klaten dan menjadi tersangka kasus suap jabatan, semua menjadi terkuak.
Baca: Klaten Connection, Pukat UGM: Ada Kekuatan Lebih Besar
Menurut Hifdzil Alim, yang disebutnya Klaten Connection ini merupakan kekuatan yang besar. "Di tangan-tangan inilah kasus-kasus yang dilaporkan menjadi mental dan tidak diproses hukum. Banyak hal yang didapat. Banyak pula data-data valid atas tindak pidana korupsi yang terjadi di kabupaten itu. Laporan sudah diberikan ke kepolisian, kejaksaan bahkan ke KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), tapi dulu proses hukum tidak berjalan meyakinkan," katanya.
Baca juga: Klaten Connection, Eks Bupati Sri Hartini Bisa Ungkapkan
Bertumpuknya data korupsi yang terjadi di Klaten diungkapkan pula oleh Sulistiono, wartawan senior kelahiran Klaten dan kini tinggal di Yogyakarta. Ia sangat prihatin, dengan mengibaratkan Klaten itu seperti jalan tanpa penerangan, jika ada pun, remang-remang. "Di jalan remang-remang berbagai kejahatan bisa terjadi," kata dia.
Informasi kepada publik di Klaten sangat minim. Bahkan portal milik pemerintah daerah jika ada laporan keuangan hanya yang global saja, tidak ada rinciannya.
Silakan baca: Klaten Connection, Sri Hartini & Miniatur Korupsi Indonesia
Perwakilan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Widyadarma Klaten, Yoga Setyo Wibowo menyatakan, pihaknya telah menyelidiki hal-hal kecil yang ada indikasi korupsi. Contohnya pemasukan parkir. Dalam peraturan, biaya parkir sepeda motor Rp 500, kenyataannya, pemarkir harus bayar Rp 1.000 hingga Rp 2.000.
"Kebocoran pemasukan parkir lebih dari 100 persen. Itu contoh yang paling kecil," kata dia.
Nila Andrianie, Direktur Amrta Institute menyatakan, kekayaan alam di Klaten sangat melimpah. Dari air saja, justru perusahaan asing yang mengeruk keuntungannya. Sementara masyarakat sekitar hanya kadang-kadang dapat dana sosial. Itupun tidak langsung ke individu.
"Jangan sampai masyarakat dirugikan dengan adanya pemodal asing mengeruk kekayaan air," katanya.
MUH SYAIFULLAH I SDA
Simak:
Dosen UGM: Tudingan Kafir Seharusnya Tak Ada di Indonesia
Aksi 112, Rizieq: Tidak Ada Pengerahan Massa Turun ke Jalan