TEMPO.CO, Jakarta -Direktur Imparsial, Al Araf, menilai polemik antara Kementerian Pertahanan dan Tentara Nasional Indonesia akibat tidak adanya penegasan wewenang antara kedua lembaga. Wewenang ini, kata Al Araf, adalah wewenang yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.
"Undang-undang memang belum mempertegas posisi dan kewenangan masing-masing lembaga," kata Al Araf di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis 9 Februari 2017. Undang-undang itu hanya mengatur koordinasi antar lembaga.
Baca:
Heboh Pembelian Helikopter TNI-AU AW-101
Hadap Presiden, KASAU Bakal Investigasi Pembelian Heli AW101
Padahal, kata dia, di banyak negara demokrasi sudah memisahkan kewenangan Kementerian Pertahanan dalam menyusun kebijakan pertahanan. "Panglima TNI hanya pelaksana kebijakan dari kebijakan yang dibuat, seperti dana operasional."
Polemik Kementerian Pertahanan dan TNI mengemuka ketika Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo mengeluh dalam rapat dengan Komisi Pertahanan DPR bahwa kewenangannya dalam mengawasi perencanaan dan penggunaan anggaran di TNI terbatas. Sebab, Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 28 Tahun 2015, terutama Bab II, memposisikan panglima TNI sejajar dengan kepala unit organisasi, setingkat Kepala Staf TNI, dalam hal penganggaran.
Baca juga: Jokowi Telusuri Dugaan Pelanggaran Kasus Helikopter AW101
Gatot memberi contoh pembelian helikopter Agusta Westland 101 yang terjadi di luar sepengetahuannya. Padahal pengadaan helikopter yang direncanakan TNI Angkatan Udara itu sudah dua kali ditolak Presiden Joko Widodo.
Araf menilai pemerintah perlu mereformasi sistem pertahanan. Reformasi harus menegaskan kewenangan Kemenhan dalam pembuatan kebijakan pertahanan dan relasi kewenangan antara kementerian dan TNI. "Bisa melalui peraturan presiden atau revisi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002."
ARKHELAUS W.