TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly memberi penjelasan ketidakhadirannya dalam pemanggilan kedua oleh KPK sebagai saksi dalam kasus tindak pidana korupsi pengadaan paket KTP berbasis nomor induk kependudukan secara nasional (e-KTP).
"Saya bertolak ke Hong Kong bertemu dengan Department of Justice Hongkong untuk pembahasan penempatan Bank Guarantee untuk memastikan Pemerintah Hong Kong terus membantu Indonesia merampas aset di Hong Kong, Hal ini sesuai arahan Wapres," kata Yasonna dalam keterangan tertulisnya yang diterima di Jakarta, Rabu 8 Februari 2017.
Baca juga:
Munarman FPI Diperiksa Jumat, Pecalang: Jangan Bawa Pengawal
Beda SBY di Pilpres dengan Agus Yudhoyono di Pilkada DKI
Agenda selanjutnya, kata Yasonna, menjelaskan bahwa proses ekstradisi Hesham Al Warraq terpidana tindak pidana korupsi dan pencucian uang kasus Bank Century telah sesuai dengan Hukum Internasional dan tidak melanggar HAM.
Ia mengaku sudah mengirim surat kepada KPK karena harus bertemu dengan Secretary of Justice Hong Kong ihwal pembahasan penempatan Bank Guarantee untuk memastikan Pemerintah Hong Kong terus membantu Indonesia merampas aset Hesham Al-Warraq dan Rafat Ali Rizvi dalam kasus Bank Century di Hong Kong.
"Pengacara pemerintah di Hong Kong merekomendasikan agar tidak diwakili uuntuk menunjukkan komitmen kuat Pemeritah Indonesia," tutur Yasonna.
Ia menyatakan bahwa perjuangan belum selesai karena Hesham Al-Warraq dan Rafat Ali Rizvi terus melakukan perlawanan dan manuver di Hong Kong serta dalam forum arbitrase internasional lainnya.
"Seperti kami berjuang keras dalam kasus Churchill Mining di forum arbitrase International Centre for Settlement Investment Disputes (ICSID), kami bisa memenangkannya. Kami telah menyelamatkan negara dari kewajiban membayar klaim Churchill Mining sebesar Rp26 triliun. Kami memenangkan perkara tersebut yang diputuskan bulan Desember lalu," tutur Yasonna.
Oleh karena itu, kata dia, sebagai wakil negara dirinya harus memprioritaskan pengejaran aset-aset negara yang dijarah dengan melawan hukum dan kemudian dilarikan ke luar negeri.
"Konsistensi dan persistensi pemerintah Indonesia memberikan pesan yang tegas kepada pelaku tindak pidana bahwa pemerintah akan mengejar mereka dan hasil tindak pidananya ke negara manapun," kata Yasonna.
Baca juga:
Rais Aam PBNU Instruksikan Nahdliyin Tak Ikut Demo 112
Jadi Tempat Bertanya, Jokowi: Terus Saya Bertanya ke Siapa?
Adapun juru bicara KPK Febri Diansyah mengatakan Yasonna kembali mangkir dalam panggilan pemeriksaan sebagai saksi, untuk yang kedua kalinya, Rabu 8 Februari 2017. Pada jadwal pemeriksaan pertama pada Jumat, Februari 2017 Yasonna juga tak hadir. Alasannya surat pemanggilan baru diterima sehari sebelum pemeriksaan dijadwalkan.
Febri menuturkan apabila Yasonna tidak hadir dalam setiap pemeriksaan maka akan kehilangan klarifikasi kepada KPK. Pihaknya kini tengah mempertimbangkan apakah akan menjadwalkan ulang pemeriksaan terhadap Yasonna.
Menurut dia, Yasonna tidak menghadiri pemeriksaan lantaran sedang tidak berada di Jakarta. Padahal, menurut dia, Yasonna penting untuk diperiksa karena penyidik KPK menduga yang bersangkutan mengetahui atau mendengar pembahasan soal proyek e-KTP.
Dalam kasus e-KTP, Febri menuturkan sudah ada pelimpahan berkas tahap I pada Jumat 3 Februari kemarin untuk tersangka Sugiarto, mantan Direktur Pengelola Informasi dan Administrasi Kependudukan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri. Adapun untuk tersangka Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Irman, pelimpahan kasusnya dilakukan pada Senin kemarin.
DANANG FIRMANTO | ANTARA
Simak juga:
Napi Pelesiran Sukamiskin, Ini Temuan Tempo Vs Kementerian
Atiqah Hamil, Rio Dewanto yang Ngidam