TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Dewan Pers Yosep Stanley Adi Prasetyo mengatakan polisi bisa memproses secara pidana media yang menerbitkan berita bohong. Syaratnya, penyelidik harus terlebih dahulu berkoordinasi dengan Dewan Pers.
Hal ini disampaikan saat rapat dengan panitia kerja pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Pemilihan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Dewan Perwakilan Rakyat. Dewan Pers mengusulkan agar Pasal 771 dan 772 di Bagian Ketiga Tindak Pidana Penerbitan dan Pencetakan diubah dan dibuat hanya berlaku bagi non-pers.
Dewan Pers mengusulkan agar dalam pasal-pasal itu dimasukkan kalimat “yang bukan produk jurnalistik”. Sehingga Pasal 771 akan berbunyi, "Setiap orang yang menerbitkan tulisan atau gambar yang bukan produk jurnalistik yang menurut sifatnya dapat dipidana, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori II".
Baca: Dewan Pers: 2 Tahun ke Depan Semua Media Terverifikasi
Adapun Pasal 772 akan menjadi "Setiap orang yang mencetak tulisan atau gambar yang bukan produk jurnalistik yang menurut sifatnya dapat dipidana, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori II".
"Dengan pengecualian yang kami usulkan itu, penyelidik mau enggak mau harus berkoordinasi dengan Dewan Pers," kata Stanley di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, 6 Februari 2017.
Menurut dia, Dewan Pers akan menilai apakah tulisan atau gambar itu merupakan produk jurnalistik atau bukan.
Adapun cara penilaiannya dengan melihat apakah media yang memberitakan itu sudah terverifikasi atau tidak oleh Dewan Pers. "Minimal terdaftar-lah," ujar Stanley.
Kemudian Dewan Pers akan mengecek apakah konten dari tulisan atau gambar ini melanggar kode etik jurnalistik atau tidak.
Selain itu, bila diperlukan, Dewan Pers akan memanggil pihak teradu dan meminta penjelasan kenapa dia membuat berita palsu. "Nanti ketahuan. Kalau kesimpulannya ada niat jahat, akan kami serahkan ke polisi," ujarnya.
Stanley berpendapat, bila dalam Pasal 771 dan 772 tidak diberi pengecualian, bisa dijadikan alat oleh kepolisian untuk menangkap jurnalis. "Sebab, polisi tidak menggunakan Undang-Undang Pers, tapi prosesnya memakai Undang-Undang KUHP. Mati kutu nanti," katanya.
Selain itu, Dewan Pers mengusulkan agar dimasukkan aturan mengenai kewajiban media memuat hak jawab dan sebagainya. "Bila tidak dilakukan, dapat dipidana denda Rp 500 juta sesuai dengan Pasal 18 Undang-Undang tentang Pers," kata Stanley.
AHMAD FAIZ