TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Ketua Dewan Perwakilan Daerah Irman Gusman dituntut pidana penjara 7 tahun dan denda Rp 200 juta subsider 5 bulan kurungan. Ia dinyatakan bersalah karena telah menerima suap untuk mempengaruhi Bulog dalam mengatur pemberian jatah gula impor.
"Menuntut agar majelis hakim menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sesuai dengan dakwaan alternatif pertama," ujar jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi, Arif Suhermanto, seperti yang tertera dalam salinan surat tuntutan yang diperoleh Tempo, Rabu, 1 Februari 2017.
Irman dinyatakan menerima suap Rp 100 juta dari Direktur CV Semesta Berjaya Xaveriandy Sutanto dan Memi. Irman diduga menggunakan pengaruhnya untuk mengatur pemberian kuota gula impor dari Bulog kepada perusahaan milik Xaveriandy. Ia pun dinilai terbukti melanggar Pasal 12 huruf b Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Selain itu, jaksa menuntut hakim mencabut hak politik Irman. Pencabutan hak politik itu selama tiga tahun setelah Irman menjalani pidana pokok.
Dalam pertimbangannya, jaksa menilai perbuatan Irman tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan korupsi. Irman juga dianggap menyalahgunakan wewenang untuk memperkaya diri. Namun, selama persidangan, ia tak pernah mengakui perbuatannya.
Menurut kuasa hukum Irman, Maqdir Ismail, hukuman yang dituntut jaksa terhadap kliennya berada di atas kepatutan. Sebab, beberapa bukti berdasarkan keterangan telah dicabut. "Pak Irman dituntut untuk perbuatan yang tidak dia lakukan," tuturnya saat dihubungi Tempo, Rabu, 1 Februari 2017.
Maqdir menjelaskan, jaksa tidak memiliki bukti percakapan antara Irman dan Memi yang menyepakati pemberian fee Rp 100 juta. Tak adanya bukti ini, kata Maqdir, diperkuat dengan kesaksian penyelidik KPK, Bayu Anwar, bahwa tidak ada rekaman untuk membicarakan kesepakatan.
"Bahkan, menurut saksi Bayu, Pak Irman tidak mengetahui adanya rencana Memi dan Xaverandy Sutanto akan memberikan uang pada 16 September 2016," ucapnya.
Maqdir juga menilai jaksa tak seharusnya menuntut hak politik Irman dicabut. Sebab, ujar dia, hak politik tak berkaitan dengan perbuatan pidana dan tidak berasal dari pemerintah. "Hak politik itu hak asasi manusia yang ada sejak lahir dan diakui UUD," tuturnya.
MAYA AYU PUSPITASARI