TEMPO.CO, Jakarta - Dewan Etik Mahkamah Konstitusi memeriksa hakim internalnya menyusul penangkapan Patrialis Akbar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Dua hakim MK itu, I Dewa Gede Palguna dan Manahan Sitompul, pun sempat diperiksa secara etik.
"Hingga Kamis malam langsung bekerja, Dewan Etik terus bekerja, dan informasi terakhir, Pak Manahan, Pak Palguna diperiksa," ujar juru bicara MK, Fajar Laksono, di gedung MK, Jakarta Pusat, 27 Januari 2017.
Baca: Anggita, Perempuan yang Ditangkap Bersama Patrialis Akbar
Fajar mengatakan Dewan Etik MK juga sempat memeriksa panitera pengganti dan semua pihak yang mengurus uji materi perkara Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Bekas Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar diduga menerima suap US$ 20 ribu dan Sin$ 200 ribu atau lebih dari Rp 2 miliar dari pengusaha impor sapi. Suap itu ditujukan untuk mempengaruhi putusan MK atas permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Patrialis ditangkap pada Rabu malam, 25 Januari 2017, sekitar pukul 21.30 di pusat belanja Grand Indonesia, Jakarta Pusat. Sehari setelah penangkapan, KPK menetapkan Patrialis Akbar sebagai tersangka suap.
Baca: Patrialis Akbar Ditangkap, Dewan Peternakan Anggap Berkah
Fajar tak ingin berspekulasi mengenai ada atau tidaknya pihak lain di MK yang kemungkinan terseret dalam kasus Patrialis. Namun dia memastikan MK membuka seluas-luasnya akses informasi bagi KPK untuk menuntaskan dugaan suap tersebut.
"Kemarin kami persilakan kalau memang KPK butuh keterangan dari hakim ataupun semua jajaran pegawai MK, dipersilakan saja," katanya.
Patrialis, seusai pemeriksaan di KPK pada Jumat dinihari, 27 Januari 2017, membantah tuduhan KPK. Menurut dia, Basuki bukan orang yang turut beperkara dalam uji materi UU Nomor 41 Tahun 2014 tersebut.
"Demi Allah. Saya betul-betul dizalimi. Nanti kalian bisa tanya Pak Basuki. Bicara uang saja tidak pernah," tutur Patrialis. "Sekarang saya dijadikan tersangka. Bagi saya, ini adalah ujian yang sangat berat."
Uji materi UU tersebut diregistrasi pada 29 Oktober 2015 dengan nomor perkara 129/PUU-XIII/2015. Ada enam pihak yang menjadi pemohon, salah satunya adalah Teguh Boediyana, seorang peternak sapi. Adapun Patrialis menjadi salah satu hakim dari sembilan hakim yang memutus perkara tersebut.
YOHANES PASKALIS
Baca juga:
Debat Pilkada DKI, Temanya Dinilai Menguntungkan Ahok-Djarot
Mahasiswa UII Tewas, Menristekdikti: Pelaku Harus Dihukum