TEMPO.CO, Jakarta - Koordinator Perguruan Tinggi Swasta Wilayah V Bambang Supriyadi menilai ada keganjilan pada formulir bermaterai Rp 6000 yang harus diteken peserta pendidikan dasar The Great Camping XXXVII Mapala Unisi Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta di Tawangmangu, Karanganyar pada 14-20 Januari 2017.
“Kami temukan beberapa hal yang semestinya tak boleh terjadi,” kata Bambang saat ditemui di Kantor Kopertis Wilayah V di Yogyakarta, Kamis, 26 Januari 2017.
BACA
Panitia Diksar Mapala UII Menangis Histeris, Kenapa?
3 Mahasiswa UII Tewas, Anggota Mapala Senior Buka Mulut
Begini Detik-detik Sebelum Peserta Diksar Mapala UII Tewas
Beberapa hal yang dimaksud antara lain berkaitan dengan formulir perizinan dari panitia untuk peserta diksar. Dalam formulir yang diteken di atas materai 6.000 itu terdapat klausul yang menyebutkan peserta tidak boleh mengajukan tuntutan apabila ada kerugian yang menimpa peserta selama diksar.
“Bagaimana enggak boleh menuntut? Itu mengenakkan panitia,” kata Bambang.
Ada juga klausul soal pemberian sanksi fisik kepada peserta yang melakukan pelanggaran. Ada juga penjabaran secara detil bentuk sanksi fisik yang diberikan.
“Hati-hati, itu membuka peluang adanya kekerasan,” kata Bambang.
Sedangkan dugaan kekerasan yang berujung pada kematian tiga peserta diksar, yaitu Muhammad Fadli asal Batam, Syaits Asyam asal Sleman, dan Ilham Ilham Nurpadmy Listia Adi asal Lombok Timur, menurut Bambang tidak terlepas dari tidak adanya unsur akademisi yang menjadi pengawas dan pembimbing di lapangan.
“Harus ada rektor sebagai pembimbing,” kata Bambang.
Catatan atas berbagai temuan itu dihimpun Bambang yang nantinya digunakan untuk mempelajari bagaimana dan apa saja hal-hal yang membuka peluang terjadinya kekerasan. Juga bagaimana kekerasan dicegah untuk tidak dilakukan. Catatan-catatan tersebut akan disampaikan di hadapan para Pembantu Rektor III perguruan tinggi di wilayah V yang akan dikumpulkan pada 16 Februari 2017.
“Biar tak terulang. Jangan sampai ada hal-hal dalam kegiatan ekstrakurikuler yang membuka peluang kekerasan,” kata Bambang.
Rencana pengumpulan para PR III seluruh perguruan tinggi di Indonesia itu merupakan instruksi Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Muhammad Nasir kepada Direktur Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kemenristekdikti Intan Ahmad. Tujuannya untuk memberikan informai dan penegasan soal larangan adanya kekerasan di kampus, baik kekerasan secara verbal, fisik, maupun psikis.
Sementara Rektor UII Harsoyo yang baru saja mengundurkan diri menyatakan tidak tahu menahu soal ada tidaknya pengawasan diksar tersebut di lapangan. Menurut dia, yang lebih mengetahui adalah bidang kemahasiswaan.
“Kalau dosen yang memberikan materi ada. Tapi kalau nungguin di lapangan enggak. Enggak mungkin dosen blusukan ke naik turun jurang,” kata Harsoyo.
PITO AGUSTIN RUDIANA