TEMPO.CO, Jakarta - Angkatan Muda Muhammadiyah dan Koalisi Nasional Masyarakat Sipil untuk Pengendalian Tembakau mendukung revisi Undang-Undang Penyiaran yang akan melarang produk rokok ditayangkan di televisi. "Pertama, kami lihat ada tumpang-tindih peraturan," kata Ketua PP Pemuda Muhammadiyah Jasra Putra saat konferensi pers di Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jakarta, Rabu, 25 Januari 2017.
Pemuda Muhammadiyah menilai wacana pembatalan RUU itu tidak sejalan dengan komitmen pemerintah yang ingin mengurangi jumlah perokok.
Baca:
Sekolah di Lima Kota Menolak Menjadi Sasaran Industri Rokok
Jumlah Perokok Anak di Indonesia Kian Meningkat
Pemasukan negara dari produk rokok yang diklaim mencapai triliunan rupiah dianggap tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan alokasi belanja pemerintah untuk pengobatan penyakit akibat rokok. Menurut Jasra, pemerintah menggelontorkan sekitar Rp 300 triliun untuk pengobatan penyakit akibat rokok melalui BPJS.
Perwakilan Human Rights Working Group, Daniel Awigra, menjelaskan alasan mengenai ketidaksetujuan lembaganya atas penayangan iklan rokok. Menurut HRWG, iklan rokok di televisi yang menggunakan frekuensi publik itu memperkenalkan dan mempengaruhi anak-anak untuk merokok. "Penyiaran itu menggunakan frekuensi publik, itu yang harus diingat," ujar Daniel.
Menurut Daniel, iklan rokok di televisi mencitrakan sesuatu yang keren. “Padahal sebaliknya." Iklan rokok dinilai manipulatif dan membohongi publik. "Itu kata WHO, bukan kata saya."
Baca juga: Hasil Riset Terbaru: Merokok Picu Mutasi Genetik
Sedangkan wakil dari Raya Indonesia, Hery Chariansyah, mengatakan RUU ini harus terus dipantau. Industri rokok, kata Hery, memberikan banyak pemasukan untuk negara. "Jangan sampai ada kongkalingkong antara pemerintah dan industri rokok."
ENDRI KURNIAWATI | BRIAN HIKARI