TEMPO.CO, Kediri – Kepala Dinas Sosial Kabupaten Kediri Sugeng Waluyo mengatakan polemik keberadaan makam Tan Malaka di Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri, mengundang perhatian Kementerian Sosial. Senin, 9 Januari 2017 tim Direktorat Jenderal Kementerian Sosial diam-diam telah mendatangi makam tersebut untuk melakukan penelusuran.
“Tim Dirjen Kemensos ke makam tanpa pemberitahuan lebih dulu,” kata Sugeng kepada Tempo, Kamis 19 Januari 2017.
Sugeng baru dihubungi tim dari pusat setelah mereka memeriksa di lokasi makam Tan Malaka. Tim Kementerian Sosial, kata dia, akan melakukan kajian terlebih dahulu terkait makam tersebut sebelum mengeluarkan rekomendasi. Sebab kewenangan pengelolaan makam pahlawan berada di tangan Kementerian Sosial.
Sugeng sempat menyampaikan permintaan kepada tim Kemensos agar dilakukan tes deoxyribonucleic acid (DNA). Sebab tes DNA yang dilakukan sebelumnya oleh salah satu kerabat Tan Malaka bersama tim forensik Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta pada 2009 tak pernah diungkapkan hasilnya. “Kami minta Kemensos melakukan tes DNA ulang agar ada kepastian,” kata Sugeng.
Sugeng yakin tes DNA bisa dilaksanakan. Sebab mengacu pada keberhasilan tes DNA terhadap sisa jasad Napoleon Bonaparte yang usianya jauh lebih tua, tes serupa terhadap Tan Malaka akan lebih mudah. Jika kemudian terbukti benar, maka Pemerintah Kabupaten Kediri akan mematuhi rekomendasi yang dikeluarkan Kementerian. Tes DNA, kata dia, juga untuk menghindari kemungkinan pengambilan jasad tersebut oleh tim delegasi penjemputan jasad Tan Malaka Pemerintah Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat.
Pengajar Sejarah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kediri, Taufik Al Amin, menilai perdebatan soal keaslian jasad Tan Malaka merupakan langkah yang kontraproduktif. Taufik meyakini penelusuran ilmiah yang dilakukan sejarawan Belanda Doktor Harry A. Poeze selama 30 tahun telah melalui metodologi dan data empiris yang kuat. “Terbukti selama ini tidak ada penelitian ilmiah yang lebih kuat dari dia,” kata Taufik.
Jika tidak ada buku sejarah Tan Malaka yang ditulis Harry Poeze, peran pejuang asal Sumatera Barat itu akan lenyap dari catatan perjuangan Bangsa Indonesia. Apalagi pemerintah rezim Orde Baru sempat mengaburkan peran dan keberadaan Tan Malaka selama bertahun-tahun karena tudingan kiri dan paham komunis.
Taufik yang pernah memoderatori diskusi publik tentang Tan Malaka di kampus STAIN Kediri beberapa waktu lalu itu berharap Pemerintah Kabupaten Kediri tidak mundur lagi dengan memperdebatkan keaslian jenasah. Pemerintah Kediri, kata dia, haruskan bersikap tegas atas upaya pemindahan makam itu ke Limapuluh Kota.
Jika ingin mempertahankan, sebaiknya segera diterbitkan peraturan daerah atau upaya pelestarian dengan melibatkan peran masyarakat desa setempat. Kebesaran nama Tan Malaka sebagai tokoh besar Republik Indonesia, ujar dia, bisa berimbas positif jika dikelola menjadi obyek wisata sejarah.
Namun jika hendak melepas, Pemerintah Kediri diminta tidak mengganjal niat warga Sumatera Barat yang ingin memulangkan jasad leluhurnya tersebut. Apalagi selama bertahun-tahun keberadaan makam tersebut juga diabaikan begitu saja. Bahkan perbaikan makam dan pemberian identitas Tan Malaka sebagai Pahlawan Nasional di batu nisan dilakukan oleh keluarga Tan dari Jakarta tanpa campur tangan pemerintah daerah. “Sikap Pemerintah Kediri ambigu,” kata Taufik.
HARI TRI WASONO